Rabu, 26 Maret 2008

01 Perjalanan Spiritual Siddharta


Sejarah Buddhisme - atau yang sebagai Lembaga kemudian dikenal sebagai Agama Buddha - dimulai sekitar 2500 tahun lalu di India , tepatnya didaerah yang pada waktu itu dikenal sebagai Kapivalastu. Tokoh sejarahnya bernama Siddharta Gautama - seorang Pangeran, yang pada satu titik waktu dalam hidupnya - di usianya yang ke 29 memutuskan untuk meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya untuk mencari jawaban atas satu pertanyaan besar yang terus bergaung dalam dirinya hingga saat itu.

Apakah hakekat kehidupan ini ?


Apa yang telah dimiliki Siddharta sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan istana adalah apa yang didambakan kebanyakan orang dalam hidup. Kelahiran dalam kelas sosial yang tinggi sebagai seorang Pangeran. Wajah yang rupawan sehingga banyak wanita jatuh hati kepadanya. Kecerdasan dan pengetahuan yang tinggi tentang ilmu-ilmu dunia. Pasangan hidup yang cantik jelita - Puteri Yashodara. Kehadiran seorang anak yang tampan - Rahula. Istana yang mewah dengan segala fasilitas yang didambakan oleh hampir seluruh umat manusia. Mengapa ia tinggalkan semuanya ini ?


Ketika masih berada di di istana - ayahnya telah mencoba agar Siddharta dapat terus menikmati hidupnya. Ia keliru. Evolusi jiwa Siddharta muda telah begitu tinggi dan ini menyadarkan Siddharta bahwa apa yang dimilikinya tiada satu pun yang dapat ia lekati. Ia sadar bahwa tiada sesuatu pun yang sebenarnya dapat sungguh ia miliki. Kelahiran yang merupakan permulaan dari suatu kehidupan membawa sertanya konsekuensi terkena penyakit, usia tua dan pada akhirnya kematian. Kehidupan - ia temukan hanyalah Anicca - bersifat tidak kekal. Dan ketika ia melihat lebih dalam, tampaklah jelas bahwa bahwa apa yang ia alami di istana yang mungkin oleh sebagian besar manusia didambakan sebagai suatu kebahagiaan yang luarbiasa - sesungguhnya hanyalah suatu ilusi dunia - maya. Segala sesuatu di dunia yang berkondisi terliput Dukkha. Dukkha bukan - bukan berarti penderitaan seperti banyak ditulis oleh para penulis barat akibat pemahaman yang kurang tepat. Terjemahan kata dukkha biasanya adalah ' suffering ' dalam bahasa Inggris. Sesungguhnya, dukkha mempunyai makna lain. Pandangan Buddha bukanlah pandangan yang begitu pesimis mengenai kehidupan yang menganggap segala sesuatu adalah penderitaan. Tidak. Siddharta - segera setelah ia menjadi Buddha - melihat bahwa segala sesuatu yang berkondisi tidak dapat dilekati karena pasti akan berubah. Tidak dapat dilekati - dan hanya hidup yang tanpa kemelekatan-lah yang pada akhirnya dapat membawa kebahagiaan sejati. Itulah makna dukkha yang sesungguhnya dimaksud oleh Siddharta. Karenanya - Siddharta sangat menekankan pada ' tanha ' - kemelekatan sebagai penyebab dari penderitaan manusia. Dan dari pengamatan lebih lanjut sesudah pencerahannya - Siddharta juga melihat bahwa bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat ' anatta '. Tiada inti yang kekal dalam segala sesuatu.


Meninggalkan istana adalah langkah awal yang ia lakukan. Tetapi - kemudian , kemana ia akan menuju ? Pencarian spiritual Siddharta segera memulai bentuknya yang awal ketika ia bertemu dengan 5 pertapa yang kemudian ia angkat sebagai gurunya. Dari mereka - Siddharta belajar laku keras - menolak dunia. Pada tahap ekstrim, ia bahkan melakukan tapa yang begitu keras - tidak peduli lagi pada hukum alam bahwa tubuh manusia memerlukan makan dan minum. Pada suatu saat, Siddharta bahkan telah dekat dengan ajal karena pendekatan yang kemudian ia sadari sebagai tidak benar. Ibarat senar kecapi - yang tidak boleh terlalu kencang tetapi juga tidak boleh terlalu kendor - demikian pula hidup tidak boleh dibawa ke satu ekstrim dari hidup hedonis mendewakan kenikmatan dan kesenangan atau hidup laku keras menyiksa diri.

Jalan Tengah - itulah katakunci yang kemudian Siddharta sadari. Ia mengubah pendekatannya. Ditinggalkannya laku keras yang pada akhirnya toh tidak bermanfaat dan Siddharta mulai hidup normal sambil terus melanjutkan pencarian. Ke lima pertapa - gurunya - ketika mengetahui Siddharta tidak lagi menjalankan laku, meninggalkannya.
Kini Siddharta sendirian . . . . seorang diri dalam pencariannya. Seorang diri - mulailah Siddharta meniti jalan masuk ke dalam dirinya sendiri. Bermeditasi . . . masuk ke dalam - di bawah sebuah pohon Bodhi.

Ditembusnya lapisan demi lapisan kesadaran dirinya. Lapisan Kesadaran Fisik telah lama ia kuasai. Ia telah tidak lagi tergiur oleh kenikmatan duniawi dan kesenangan ragawi. Lapisan Kesadaran Enerji dan Pikiran telah pula ia kuasai. Walau dari hasil tapa dan laku kerasnya Siddharta mendapat kekuatan supranatural, dapat melakukan mujijat-mujijat dan kegaiban - ia sekaligus juga sadar bahwasanya kekuatan supranatural sehebat apa pun tidak akan membawa pencerahan.
Berikutnya - Lapisan Kesadaran Kasih telah ia taklukkan. Cinta kepada keluarga, anak isteri, saudara dan teman-teman dekat telah berkembang menjadi Cintakasih dan Belaskasih terhadap semua makhluk. Lapisan Kesadaran berikutnya - Kesadaran Intelegensia masih menyisakan masalah. Keterikatan yang halus masih ada. Keterikatan pada konsep kebenaran dan pada permainan dualisme pikiran masih ada di sana.
Ketika akhirnya Siddharta berhasil menembus Lapisan Kesadaran yang terakhir ini - bersatulah Cintakasih dan Ketak-terikatan. Compassion and Wisdom. Dan ketika ke duanya menyatu - tercerahkanlah Siddharta ! Masuklah ia ke dalam Shunyata. Kesadaran No - Mind. Kesadaran Murni. Kesadaran seorang Avatar. Kesadaran seorang Buddha.

Demikianlah Siddharta mencapai Kebuddhaan. Sejak itu - setiap kali ada yang bertanya kepadanya : ' Siapakah diri mu itu ? ' - Siddharta tegas menjawab : ' Aku adalah Buddha. Yang Terbangun. Yang Tersadar. Yang Tercerahkan '