Suatu malam hari lebih dari tujuhbelas tahun lalu. Suci - isteri dari Joko Singgih Sugiarto tergolek
lemah dalam keadaan koma - di kamar perawatan sebuah Rumah Sakit di Surabaya. Penderita
diabetes akut ini sebelumnya telah dibawa berobat kemana mana - bahkan
hingga ke manca negara - namun tiada hasil.
Suaminya - Joko Singgih
- merasa pupus harapan. Dalam keheningan tengah malam - dengan hati
galau - ia melangkahkan kaki ke luar dan di halaman Rumah Sakit ia pun
berdoa kepada Sang Penguasa Semesta memohon kesembuhan bagi isteri
tercinta. Dalam doa yang dipanjatkannya itu ia pun mengungkapkan isi
hatinya bahwa ia akan membangun sebuah vihara apabila isterinya - Suci - mendapatkan kesembuhan.
Tak diduga - mujizat terjadi. Suci pun sembuh. Masih mengidap diabetes memang - namun nyawanya terselamatkan dan hingga hari ini - Suci masih dapat menunggui anak cucunya. Atas kesembuhan ini - Joko pun kemudian berusaha menepati janjinya. Ia akan segera membangun sebuah vihara. Namun pada waktu itu - Joko tak lagi punya cukup uang. Dengan bekal tekad dan keyakinan demi memenuhi janji - Joko pun
meng-anggunkan beberapa aset miliknya dan kemudian mempergunakan
uangnya untuk membangun sebuah vihara - di salah satu tanah miliknya di Kilometer 12 di Jalan Raya Salatiga Kopeng - dan vihara yang dibangun
itu kemudian diberi nama Vihara Bhakti Suci - sebagai sebuah Ungkapan Terimakasih dan Bhakti bagi kesembuhan Suci - isterinya.
Pembangunan
vihara dimulai pada tahun 1996 dan selesai satu tahun kemudian pada
tahun 1997. Segera setelah vihara selesai dibangun, Joko
merasa bahwa peruntungannya membaik dan semakin membaik. Ia pun kemudian
menjadi semakin yakin bahwa keputusannya untuk membangun sebuah vihara
adalah sebuah keputusan yang tepat.
Isterinya - Suci - kini telah sembuh. Peruntungan Joko jauh membaik. Kini ia sungguh merasa telah mendapat berkah dari Sang Penguasa Semesta, dari sang Buddha dan dari sang Bodhisattva Avalokitesvara - Guan Shi Yin Pu Sa - yang kemudian di Altarkannya di Altar Utama Vihara yang dibangunnya itu.
Vihara tampak dari Jalan Raya
Vihara Tampak Samping
Vihara Tampak Depan - terlihat di ketinggian
Kho Kian Hien alias Hindarto - Dayakasaba / Kepala Pengurus Vihara Bhakti Suci pun merasa mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Joko - pemilik vihara. Pria yang dilahirkan 55 tahun lalu ini kehidupannya merosot tajam belasan tahun yang lalu ketika ia pindah dari Semarang ke kota Salatiga.
Vihara Bhakti Suci ini terletak kira-kira di Kilometer 12 di Jalan Raya Salatiga - Kopeng dan sudah sangat dekat dari Kota Wisata Kopeng yang terletak kira-kira di Kilometer 13 dari kota Salatiga. Lokasinya sungguh sangat strategis. Vihara Bhakti Suci berada di tempat yang cukup tinggi - untuk mencapainya kita harus menaiki puluhan anak tangga. Vihara berkedudukan di Selatan, menghadap ke Utara. Dari arah depan vihara - di sebelah kiri - arah Timur agak di belakang vihara, nampak cukup dekat Gunung Merbabu, dengan Gunung Merapi berada tepat di belakangnya. Di sebelah kanan - arah Barat - nampak berjajar Gunung Andong dan Gunung Telomoyo. Sedang di arah Utara - arah depan Vihara - nampak di kejauhan Gunung Gajah - sebuah gunung kecil yang memang berbentuk seperti seekor gajah - lengkap dengan kepala dan belalainya. Bhakti Suci - vihara dengan luas area 2,8 hektar ini - memang sebuah vihara dengan pemandangan seputar yang sungguh indah. Dari depan vihara yang terletak di tempat yang cukup tinggi itu - sejauh mata memandang sekeliling - terpapar pemandangan indah gunung gunung - dan hijau rimbunnya pepohonan.
Hio-Lo Thian Gong di Teras depan Dharmasala - Bodhisattva Avalokitesvara / Guan Shi Yin Pu Sa dan Sang Buddha di Altar Utama
Vihara Tampak Samping
Vihara Tampak Depan - terlihat di ketinggian
Kho Kian Hien alias Hindarto - Dayakasaba / Kepala Pengurus Vihara Bhakti Suci pun merasa mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Joko - pemilik vihara. Pria yang dilahirkan 55 tahun lalu ini kehidupannya merosot tajam belasan tahun yang lalu ketika ia pindah dari Semarang ke kota Salatiga.
Namun
- dalam kurun waktu 14 tahun ia membaktikan diri - ikut mengurusi
vihara dengan tanpa pamrih - kehidupannya berangsur membaik dan semakin
membaik. Ia pun kemudian merasa yakin bahwa seperti halnya Joko Singgih - pemilik vihara - ia pun telah mendapatkan berkah dan keberuntungan dari pengabdiannya kepada vihara.
Kho Kian Hien - alias Hindarto - Dayakasaba/Kepala Pengurus Vihara
Lain pula halnya dengan Tan Tjie Ming -
Pengurus Rumahtangga Vihara - yang berpembawaan tenang, sabar - dan baik hati. Pria berusia 58 tahun asal Magelang ini
mengaku bahwa sejak ia mengabdikan diri di Vihara mulai 4 tahun yang lalu -
ia merasa bahwa ia telah memperoleh berkah ketenangan hidup dan kedamaian batin
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini pula yang membuat pria yang
telah puluhan tahun menjalani laku Ciak-Jay / memantang daging ini merasa mantap untuk terus mengabdi di Vihara Bhakti Suci - menjalankan tugasnya sebagai Pengurus Rumahtangga Vihara.
Tan Tjie Ming - Pengurus Rumahtangga Vihara
Tan Tjie Ming - Pengurus Rumahtangga Vihara
Vihara Bhakti Suci ini terletak kira-kira di Kilometer 12 di Jalan Raya Salatiga - Kopeng dan sudah sangat dekat dari Kota Wisata Kopeng yang terletak kira-kira di Kilometer 13 dari kota Salatiga. Lokasinya sungguh sangat strategis. Vihara Bhakti Suci berada di tempat yang cukup tinggi - untuk mencapainya kita harus menaiki puluhan anak tangga. Vihara berkedudukan di Selatan, menghadap ke Utara. Dari arah depan vihara - di sebelah kiri - arah Timur agak di belakang vihara, nampak cukup dekat Gunung Merbabu, dengan Gunung Merapi berada tepat di belakangnya. Di sebelah kanan - arah Barat - nampak berjajar Gunung Andong dan Gunung Telomoyo. Sedang di arah Utara - arah depan Vihara - nampak di kejauhan Gunung Gajah - sebuah gunung kecil yang memang berbentuk seperti seekor gajah - lengkap dengan kepala dan belalainya. Bhakti Suci - vihara dengan luas area 2,8 hektar ini - memang sebuah vihara dengan pemandangan seputar yang sungguh indah. Dari depan vihara yang terletak di tempat yang cukup tinggi itu - sejauh mata memandang sekeliling - terpapar pemandangan indah gunung gunung - dan hijau rimbunnya pepohonan.
Gunung Telomoyo nampak di kejauhan di arah Barat Vihara
Gunung Merbabu tertutup kabut nampak di arah Timur Vihara
Saya
sendiri mengambil posisi sebagai seorang Buddhis Non Sektarian - dan
karenanya bagi saya - penataan Altar seperti ini tidak begitu menjadi
masalah.
Bangunan Vihara terdiri dari Teras di bagian depan. Di sini ditempatkan sebuah Hio-Lo Thian Gong berukuran besar. Di sebelah kiri - di halaman - ada sebuah Tempat Pembakaran berbentuk sebuah Hu-Lu besar. Sedang di Ruang Utama Dharmasala - terdapat sebuah Altar Pemujaan Besar yang menyatu - dengan dua buah Rupang bersebelahan. Rupang Sang Buddha dalam posisi mudra Dharma Cakra Mudra - di sudut Naga di sebelah kanan dari arah depan, di sampingnya Rupang Sang Bodhisattva Avalokitesvara/ Guan Shi Yin Pu Sa di
sudut Macan di sebelah kiri dari arah depan. Rupang di sudut Naga
berukuran lebih besar dibanding rupang di sudut Macan - demikian juga Hio-Lo / tempat dupanya. Sang Buddha di sini - menurut saya dapat di tafsirkan sebagai Buddha Sakyamuni - sang Guru Agung Umat Manusia yang telah membabarkan Dharma - namun dapat pula dianggap sebagai representasi dari Buddha Vairocana - sang Maha Buddha - dilihat dari mudra pada rupangnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa penataan Altar di Vihara Bhakti Suci ini memang terkesan unik. Ada Hio-Lo Thian Gong di Teras, Rupang Sang Buddha dan Bodhisattva Avalokitesvara/ Guan Shi Yin Pu Sa di Altar Utama Dharmasala. Dan ada pula Sarana Pak Pwee dan Ciam Sie di Altar Utama - dan juga ada sebuah Tempat Pembakaran Kertas Sembahyang/Kim Coa di sebelah kiri Dharmasala. Semuanya ini tentu memberi kesan unik dan tidak biasa.
Hio-Lo Thian Gong di Teras depan Dharmasala - Bodhisattva Avalokitesvara / Guan Shi Yin Pu Sa dan Sang Buddha di Altar Utama
Tempat Pembakaran Kertas Sembahyang/ Kim Coa di halaman sebelah kiri
Di arah depan Vihara - tampak di bawah karena lokasi
vihara yang cukup tinggi - nampak sebuah Gedung Komplek Penginapan yang
diperuntukkan bagi para umat/pengunjung yang ingin menginap di vihara.
Komplek Penginapan ini mempunyai 11 kamar dan sebuah Ruang Makan besar.
Sedang di sebelah kiri vihara dari arah depan - agak di belakang ada
satu bangunan Kuti - dua lantai - yang diperuntukkan bagi para Bhikkhu/Bhikksu/Bhikksuni
yang datang berkunjung dan menginap di vihara. Di sebelah kanan
Bangunan Penginapan ada sebuah Bangunan untuk kegiatan Serba Guna.
Kuti dua tingkat - di sebelah kanan Dharmasala agak di belakang
Saya menginap di Vihara Bhakti Suci ini pada tanggal 16 - 17 Nopember 2013 yang lalu. Malam tanggal 16 adalah tepat saat Malam Purnama. Malam Cap Go dalam
tradisi Tionghoa. Bertiga bersama dua teman - saya menginap dan
menunggu saat jam 12.00 malam tepat - saat kami akan bersama berdoa/ Tiam Hio - dan kemudian melakukan Pradaksina sebanyak 6 kali mengelilingi Dharmasala - dengan arah berlawanan dengan arah jarum jam. ( Dalam Tradisi Buddhis - setahu saya - biasanya Pradaksina hanya dilakukan 3 kali - dengan arah searah jarum jam - melambangkan penghormatan kepada Buddha, Dharma dan Sangha. )
Namun dalam hal ini - saya sekedar mengikuti saja teman yang mengajak
saya - yang telah puluhan kali datang dan menginap di Vihara Bhakti Suci ini.
Teman yang mengajak saya ini ternyata juga punya pengalaman unik dengan Vihara Bhakti Suci ini. Seperti halnya pemilik vihara, Joko Singgih, dan Dayakasaba Kho Kian Hien - teman saya juga merasa telah mendapat berkah dan pertolongan dari Vihara Bhakti Suci.
Karenanya ia kemudian jadi sering berkunjung dan menginap di Vihara -
telah puluhan kali - bahkan - dan kemudian ia juga mengajak teman dan
sahabat untuk ikut bersamanya. Saya sendiri baru sekali ini diajak ke
sini - tapi teman yang lain - seorang pengusaha besar dari Jakarta telah
diajak berkunjung tiga kali.
___________
Ketika melakukan Pradaksina -
saya pun merenungkan masalah masalah kehidupan yang belakangan ini
semakin berat menerpa hidup saya. Segalanya memang terasa berat dan
semakin berat. Dan perhatian saya pun kemudian lebih banyak tertuju pada
Sang Avalokitesvara yang ada di Altar Utama Vihara ini.
Bodhisattva Avalokitesvara. Guan Shi Yin Pu Sa.
Ia yang Melihat. Ia yang Mendengar. Ia yang Menjawab Jerit Tangis
Penderitaan Makhluk. Demikian secara harafiah terjemahan dari Avalo - Kite - dan Svara Bahasa Sansekerta ini. Avalo - Yang Melihat. Kite - Yang mendengar. Svara - Suara/Jerit Tangis Penderitaan Makhluk/Dunia. Guan Shi Yin adalah terjemahan Bahasa Tionghoa nya. Pu Sa berarti Bodhisattva. Guan Shi Yin ini dalam dialek Hokkian adalah Kwan She Im - nama resmi dari yang lebih banyak dikenal sebagai Mahadewi Kwan Im - sang Mahadewi Cintakasih dan Welas-Asih.
Getaran Cintakasih dan Welas-Asih Semesta yang direpresentasikan sebagai Avakokitesvara
ini bagi banyak orang terasa menyejukkan. Ketika kita memikul beban
kehidupan yang berat - ada satu Getaran, Kekuatan di Alam Semesta yang
peduli. Ia Melihat. Ia Mendengar. Ia Menjawab. Ia Mengulurkan Tangan.
Namun Avalokitesvara bukanlah
sekedar Tempat Bersandar. Ia juga memberi contoh bagaimana kita sebagai
manusia harus bersikap. Cintakasih dan Welas-Asih adalah penghubung. Ia adalah perekat bagi semua makhluk - antara satu dengan yang lain.
Sifat
Cintakasih dan Welas-Asih ini dapat mengikis dominasi Ego kita - dan dengan
terkikis habisnya dominasi Ego akan membawa kita ke Pencerahan - karena
pada dasarnya segala sesuatu adalah An-Atman. An-Atta.
Avalokitesvara pada awalnya di India di representasikan dalam wujud maskulin. namun ketika Buddhisme Mahayana masuk ke Tiongkok dan bertemu dengan Taoisme Kedewaan - muncullah sebuah Legenda tentang Putri Miao Shan yang konon dipercaya sebagai inkarnasi dari sang Avalokitesvara. Sejak itu - di Tiongkok - representasi wujud Avalokitesvara berubah menjadi feminin - dan lebih dikenal secara umum sebagai Guan Shi Yin - Kwan She Im dalam dialek Hokkian nya. Sebagai Mahadewi Kwan Im - sang Mahadewi Cintakasih dan Welas-Asih.
Figur Dewi Penolong Umat Manusia ini sebenarnya juga ada di Budaya Spiritualitas yang lain - di Tiongkok Kuno - ada Wang Mu Niang-Niang yang banyak dipuja sebagai Dewi Penolong sebelum munculnya Avalokitesvara di sana. Juga dalam Tradisi Agama Katolik - ada Bunda Maria - yang melalui Doa Novena banyak dipuja dalam doa oleh para penganut Agama Katolik di Goa-Goa Maria yang ada di banyak lokasi.
Avalokitesvara pada awalnya di India di representasikan dalam wujud maskulin. namun ketika Buddhisme Mahayana masuk ke Tiongkok dan bertemu dengan Taoisme Kedewaan - muncullah sebuah Legenda tentang Putri Miao Shan yang konon dipercaya sebagai inkarnasi dari sang Avalokitesvara. Sejak itu - di Tiongkok - representasi wujud Avalokitesvara berubah menjadi feminin - dan lebih dikenal secara umum sebagai Guan Shi Yin - Kwan She Im dalam dialek Hokkian nya. Sebagai Mahadewi Kwan Im - sang Mahadewi Cintakasih dan Welas-Asih.
Figur Dewi Penolong Umat Manusia ini sebenarnya juga ada di Budaya Spiritualitas yang lain - di Tiongkok Kuno - ada Wang Mu Niang-Niang yang banyak dipuja sebagai Dewi Penolong sebelum munculnya Avalokitesvara di sana. Juga dalam Tradisi Agama Katolik - ada Bunda Maria - yang melalui Doa Novena banyak dipuja dalam doa oleh para penganut Agama Katolik di Goa-Goa Maria yang ada di banyak lokasi.
Dalam konsep Agama Buddha Mahayana awal di India - dikenal adanya beberapa tingkatan ke Buddha-an yang meliputi : Dhyani Buddha, Dhyani Bodhisattva dan Manusi Buddha. Hubungan antar ke tiganya dapat kiranya di ilustrasikan sebagai berikut :
Dhyani Buddha di gambarkan sebagai Buddha yang selalu dalam keadaan Tafakur. Buddha Semesta. Dengan daya emanasi Dhyani Buddha - turunlah ke dunia seorang Manusi Buddha yang bertugas mengajarkan Dharma bagi umat manusia. Setelah Manusi Buddha wafat - kembali Dhyani Buddha memancarkan daya emanasinya dan muncullah Dhyani Bodhisattva. Tugas Dhyani Bodhisattva berakhir ketika akhir jaman karena dunia tidaklah kekal dan suatu ketika akan muncul sebuah jaman baru.
Setiap jaman - seperti dapat dilihat dalam ilustrasi di Candi Borobudur - mempunyai rangkaian Dhyani Buddha - Dhyani Bodhisattva dan Manusi Buddha sendiri-sendiri. Untuk masa sekarang - Dhyani Buddha adalah Buddha Amitabha. Dhyani Bodhisattva - Bodhisattva Avalokitesvara dan Manusi Buddha adalah Buddha Sakyamuni yang terlahir sebagai Pangeran Siddharta Gautama.
Amitabha
secara harafiahnya berarti - Cahaya atau Enerji tak terbatas - dalam
Ruang yang tak terbatas. Sebuah definisi untuk Yang Tertinggi. Avalokitesvara adalah representasi dari Getaran/Kekuatan Cintakasih dan Welas-Asih Semesta yang menyatukan semua makhluk.
Namun - konsep awal Buddhisme Mahayana India ini kemudian banyak berubah ketika Buddhisme masuk ke Tiongkok dan bertemu dengan Taoisme - dalam hal ini Taoisme Kedewaan. Penafsiran figur figur suci dalam Buddhisme Mahayana India - kemudian sangat jauh ter-inflitrasi sistim kedewaan Taoisme - dan Agama Buddha Mahayana Tiongkok pun kemudian muncul dengan satu sistim Hagiologi Kedewataan yang berbeda.
Konsep awal dari Amitabha berubah - demikian juga konsep Avalokitesvara mengalami
sedikit pemahaman yang berbeda. Nah - dalam konteks pemahaman seperti
ini - kita dapat nantinya memahami mengapa Buddhisme Mahayana Tiongkok
kemudian menjadi berbeda. Dan dalam konteks pemahaman ini pula - kita
dapat lebih memahami penataan Altar yang unik dan tidak biasa di Vihara Bhakti Suci ini.
_____________
Selesai berdoa dan ber Pradaksina dari
pukul 12.00 tengah malam hingga kurang lebih pukul 01.00 dini hari -
kami pun kembali ke Penginapan. Ketika menuruni tangga vihara dan
saya mendongak ke atas - tampaklah Bulan bulat penuh. Purnama. Dalam
keremangan malam - terlihat bangunan vihara menjulang ke atas -
menebarkan aroma Sakral. Sebuah vihara bagaimana pun juga adalah
layaknya sebuah Mandala - tempat kita terhubung dengan Yang Tertinggi.
Keesokan
harinya - saya bergegas bangun - memang saya sudah terbiasa bangun pagi
hari. Saya lihat ke dua teman saya masih tidur pulas terbuai mimpi.
Sekali lagi saya pun naik ke Vihara pada jam 05.00 pagi. Hawa di luar
terasa sangat dingin - dan saya pun masuk ke Dharmasala mencoba bermeditasi di ruang dalam.
Pagi
yang hening. Dingin yang menggigit. Dalam keheningan meditasi - waktu
terasa berhenti. Segalanya terasa diam. Tiada gerak. Yang ada hanyalah
Ketenangan dan Kedamaian dalam dinginnya udara pagi hari.
Ketika
kemudian udara terasa semakin hangat - saya pun menyadari bahwa jam
telah terus bergerak - dan menunjuk pukul 06.00 pagi hari. Saya pun
bergegas turun dan kemudian mengambil beberapa foto untuk ilustrasi
tulisan ini.
Di kejauhan - di arah depan - kiri dan kanan nampak gunung-gunung di seputar vihara ini. Gunung Merbabu, Merapi di belakangnya - Gunung Telomoyo , Andong dan Gajah. Sebuah vihara yang dikelilingi gunung - sungguh satu lokasi yang sangat strategis dan indah - satu lokasi yang tentu membawa Feng Shui yang sangat bagus.
Tapi
saya tak punya waktu lagi untuk menikmati keindahan ini - ke dua teman
saya tampaknya telah bangun - dan naik berdoa di Vihara. Kemudian mereka
bergegas turun dan kami pun harus bersiap-siap untuk memulai perjalanan
pulang.
Vihara Bhakti Suci.
Sebuah Vihara yang unik yang mempunyai ciri khas-nya tersendiri.
Sebuah Vihara yang dibangun sebagai Sebuah Ungkapan Terimakasih dan
Bhakti dari Suci - isteri dari pengusaha sukses Joko Singgih Sugiarto - sebagai ungkapan terimakasih untuk kesembuhannya. Sebuah Ungkapan Bhakti dari Suci. Vihara Bhakti Suci.
Namo Avalokitesvara Bodhisattvaya Mahasattvaya
Namo Guan Shi Yin Pu Sa
Om Mani Padme Hum
Solo - 29 Nopember 2013
Aryanto Wong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar