Dua mata kita hanya melihat
apa yang ingin dilihat
Dua telinga kita hanya mendengar
apa yang ingin didengar
Hanya mata Guan Yin
melampaui mata manusia
Hanya telinga Guan Yin
mampu mendengar tangisan tanpa suara
Jadilah manusia yang mampu
melihat dan mendengar dan menjawab
jerit tangis dunia
jerit tangis dunia
Itu jauh lebih penting
daripada sekedar menjadi seorang umat Buddha
pesan sang Avalokitesvara
Bodhisattva Avalokitesvara - Guan Shi Yin Pu Sa - dalam Bahasa Mandarin-nya. Kata Avalokitesvara secara harafiahnya berarti : Avalo - Yang Melihat. Kite - Yang Mendengar. Svara - Suara Penderitaan Makhluk. Karenanya secara utuh - Avalokitesvara dapat diartikan sebagai - Ia yang melihat dan mendengar suara penderitaan makhluk. Kadang - kadang ada pula terjemahan bebasnya : Ia yang melihat, mendengar dan menjawab jerit tangis dunia.
Meditasi Tong Len adalah sebuah meditasi yang berasal dari Tradisi Agama Buddha aliran Vajrayana Tibet - yang tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan sifat Cintakasih dan Belaskasih dalam diri manusia agar manusia dapat mencapai Pencerahan dengan jalan mengembangkan sifat-sifat Bodhicitta - sifat Cintakasih dan Belaskasih seorang Bodhisattva. Karenanya - mungkin tidak berlebihan apabila ada yang kemudian menyebut Meditasi Tong Len ini sebagai Meditasi Avalokitesvara.
Meditasi Tong Len berasal dari kata Tong - yang artinya Memberi dan Len - yang artinya Menerima. Memberi dan Menerima. Bukan dibalik - Menerima dahulu dan baru kemudian Memberi. Memang ada makna dibalik pengertian ini.
Meditasi Tong Len sering dianggap sebagai meditasi untuk menumbuhkan dan menghidupkan sifat Altruisme dalam diri manusia - dengan cara yang ekstrem. Memang kalau kita telah mengerti bagaimana cara atau metode melakukan Meditasi Tong Len ini - mungkin saja timbul kesan bahwa metode yang dipakai memang dapat dikatakan ekstrem - dengan catatan bahwa metode ekstrem ini dilakukan semata-mata dengan tujuan yang sangat positip dan sungguh baik.
Meditasi Tong Len dilakukan dengan pernafasan - disertai pelafalan 3 suku kata sakral : OM - AH dan HUM. Dalam konteks Meditasi Tong Len ini - OM , AH dan HUM berfungsi sebagai Pembersih Batin.
OM - divisualisasikan sebagai warna Putih - dan berunsur Air.
AH - divisualisasikan sebagai warna Merah - dan berunsur Api.
HUM - divisualisasikan sebagai warna Biru dan berunsur Angin/Udara.
Ini setara dengan RAM - YAM - KHAM yang banyak digunakan sebagai Sarana Pembersihan dalam Puja - Puja Persembahan dalam Agama Buddha Aliran Vajrayana - misalnya dalam Puja Dzambala Hitam.
RAM - Merah - berunsur Api.
YAM - Biru - berunsur Angin/Udara.
KHAM - Putih - berunsur Air.
Teknik Pelaksanaan Meditasi Tong Len adalah sebagai berikut :
Pertama meditator duduk dengan punggung tegak - tetapi relaks. bahu turun, mata terpejam ringan.
Tarik napas panjang - ucapkan OM - sambil bervisualisasi bahwa kita menarik seluruh penderitaan makhluk yang ada di 6 Alam Kehidupan.
Napas masuk - kita turunkan ke perut bagian bawah sambil melafal AH - dengan visualisasi mengolah seluruh penderitaan makhluk tersebut menjadi suatu enerji positip - menjadi pancaran Cintakasih dan Belaskasih.
Keluarkan napas dengan melafalkan HUM - visualisasi - berikan/pancarkan seluruh Cintakasih dan Belaskasih itu kepada segenap Makhluk yang sedang menanggung beban penderitaan.
Ketika kita mau menyerap penderitaan makhluk lain dan kemudian meng-identifikasi penderitaan tersebut dengan penderitaan diri kita sendiri - kita melakukan satu hal yang sangat positip dan amat bermanfaat. Kita akan melarutkan Ego kita. Kita akan meningkatkan kesadaran batin kita tentang kefanaan dunia - memahami kenyataan tentang Dukkha yang tak terelakkan. Mengerti Dukkha dan mencari jalan agar kita dapat membebaskan diri dari Dukkha - sesungguhnya adalah Inti dari Ajaran sang Buddha.
" Sesungguhnya aku hanya mengajarkan satu hal saja. Dukkha - dan bagaimana membebaskan diri dari Dukkha ". Demikian kata sang Buddha.
Memahami Dukkha makhluk lain adalah cara yang amat efektif untuk mengikis Dukkha diri kita sendiri - kepedihan Hidup yang kita sendiri alami. Menyelami dan merasakan penderitaan makhluk lain seringkali menjadi obat yang sangat mujarab bagi kita untuk melupakan dan melarutkan penderitaan diri kita sendiri. Selama kita berada di 6 Alam Kehidupan - bagaimana pun kita tidak akan dapat terlepas dari jangkauan Dukkha dan Lingkaran Samsara - bahkan dalam pemahaman Buddhis - ketika kita berada di Alam Surga sekali pun.
Satu jalan untuk mengikis penderitaan adalah dengan menghancurkan luluhkan Ego kita - konsep tentang Diri - tentang Aku yang sesungguhnya adalah Maya. An - Atta demikian kata sang Buddha. Tiada Diri yang kekal - tiada Diri yang dapat dipegang.
Pada waktu saya masih belajar di Fakultas Sastera Inggris - kembali ke akhir tahun 1970 an - sebagai bagian dari Mata Kuliah Telaah Novel - saya membaca satu novel yang sungguh menarik yang terus saya ingat hingga sekarang - yang berkisah tentang bagaimana seorang manusia terlepas dari beban penderitaan batin yang dialami dalam hidupnya. Novel itu - A Burnt Out Case - ditulis oleh seorang Penulis Inggris terkemuka - Graham Greene.
A Burnt Out Case berkisah tentang seorang Arsitek terkenal di Eropa. Muda, sangat berbakat, tampan, kaya raya. Seorang Selebriti. Seorang Arsitek kelas dunia. Pada puncak karirnya itu - ia telah memiliki apa yang diinginkan kebanyakan manusia : Kekayaan, Nama Tenar, Kemewahan Hidup, Wanita. Ia benar-benar hidup di Surga Dunia.
Namun apa hendak dikata - setelah beberapa waktu menikmati karunia dunia ini - ia mulai merasa tidak berbahagia. Tidak tenang. Ada kekosongan dan kejenuhan di relung hatinya akan semuanya ini. Seperti Siddharta - pada awal awal perjalanan spiritualnya - Ia merasakan ada sesuatu yang hilang - ada kekosongan dan kehampaan. Dan ini membuat hidupnya tak lagi tenang - tak lagi bahagia. Bahkan ia merasa telah kehilangan makna akan kehidupan ini. Kejenuhan telah menguasai hidupnya. Hidupnya - yang dari luar tampak begitu gemerlap - tak lagi dirasakan mempunyai makna.
Pada saat-saat yang kritis itu - karena galau dan bingung - ia membuat suatu keputusan yang ekstrem. Ia mengasingkan diri ke sebuah Pulau - yang merupakan Pusat Rehabilitasi bagi penderita penyakit Kusta - tempat yang tak banyak orang mau berkunjung ke sana - tapi justru ke sana lah sang Arsitek muda ini mengasingkan diri dari kejenuhan hidup yang dirasakannya.
Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ketika ia kemudian memutuskan untuk ikut membantu para penderita Kusta di Pulau terpencil itu - sedikit demi sedikit ia merasakan kejenuhan dan kehampaan hidupnya lenyap. Ketika ia kemudian ikut memberikan dirinya bagi para penderita Kusta itu - ia mendapatkan kebahagiaan hidup yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ketika ia memberikan dirinya bagi penderitaan orang lain - penderitaan yang ia rasakan tanpa terasa ikut larut dalam kepeduliannya itu - dan ia pun mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan batin.
Yang terjadi - sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat Alami. Tong Len - Memberi dan Menerima. Memberikan diri sendiri bagi orang lain - menyerap penderitaan makhluk lain - secara otomatis akan menyebabkan penderitaan diri sendiri ikut terserap. Memang sebuah fakta yang menakjubkan dari Altruisme murni - yang dilakukan tanpa pamrih - yang dilakukan karena tingkatan batin seorang manusia yang telah mencapai satu tingkat tertentu - yang bisa saja justru dimulai dari kejenuhan akan kehidupan itu sendiri - seperti yang dialami Arsitek muda dalam novel terkenal itu.
Itulah Intisari dari Ajaran Tong Len. Menyerap penderitaan orang lain - makhluk lain - yang kemudian justru akan ber-transformasi menjadi sesuatu enerji positip yang akan melarutkan penderitaan diri sendiri.
Ajaran Tong Len adalah ajaran yang dalam. Tidak mudah dipahami oleh kebanyakan orang - yang ketika berusaha untuk lari dari penderitaan hidup - akan mengejar kenikmatan bagi dirinya sendiri. Kenikmatan hidup memang memberikan kesenangan - tetapi tidak akan dapat memberikan kebahagiaan yang sejati. Kenikmatan dan kenyamanan hidup yang berlebihan - bahkan pada akhirnya akan menimbulkan Kejenuhan, Kekosongan dan Kehampaan.
A k h i r n y a . . .
Ada fakta mengejutkan bahwasanya Meditasi Tong Len ini ternyata bukan berasal dari Tibet - melainkan dari Tanah Nusantara. Dari Swarna Dwipa - Sumatera sekarang - pada masa Kerajaan Sriwijaya.Meditasi ini berasal dari seorang Maha Bhikksu - Atisha Shrijnana Dipankara yang berasal dari Benggala - India.
Atisha - Dipankara Shrijnana Atisha ( 980 - 1054 ) ketika itu berada di Swarna Dwipa - di Kerajaan Sriwijaya , Sumatera - belajar dari Gurunya Serlingpa Dharmakirti.
Adalah Atisha yang menciptakan Meditasi Tong Len ini dan kemudian memperkenalkan dan mengajarkannya di Tanah Himalaya. Meditasi yang luarbiasa ini - yang dipraktekkan bahkan oleh Dalai Lama sekarang Tenzin Gyatso dalam kesehariannya - kini telah masuk sebagai bagian dalam Ajaran Buddhisme Vajrayana/Tantrayana Tibet.
Dan seribu tahun setelah Meditasi Tong Len ini diciptakan oleh Atisha - kini para Rinpoche dari Tanah Himalaya - mengajarkannya di Sini - di Tanah Asalnya.
Saya sendiri mengenal Meditasi Tong Len ini dari dua orang Rinpoche Tinggi dari Bhutan - Rangbar Nyimai Ozer Rinpoche dan Druk Chokyong Tsimar Rinpoche - yang berkunjung ke Solo dalam rangka Pembabaran Dharma beberapa waktu yang lalu.
Menjadi Penerjemah Pendamping bagi para Rinpoche yang berkunjung ke Solo beberapa waktu terakhir ini - saya rasakan sungguh telah membawa berkah spiritual yang amat berharga bagi diri saya. Melalui mereka - saya belajar ke-khas-an Ajaran Buddhisme Vajrayana/Tantrayana Tibet. Saya belajar Meditasi Tong Len - dan Ritual-Ritual Puja yang terasa kuat dan mengena.
Om Mani Padme Hum.
Om Mani Padme Hum.
Om Mani Padme Hum.
Permata di dalam Teratai - Hanya melalui Cintakasih dan Kebijaksanaan seorang manusia dapat mencapai Yang Tertinggi.