Dua mata kita hanya melihat apa yang mau dilihat
Dua telinga kita hanya mendengar apa yang mau didengar
Hanya mata Guan Yin yang melampaui mata manusia
Hanya telinga Guan Yin yang mendengar tangisan tanpa suara
Dua telinga kita hanya mendengar apa yang mau didengar
Hanya mata Guan Yin yang melampaui mata manusia
Hanya telinga Guan Yin yang mendengar tangisan tanpa suara
Berusahalah menjadi manusia yang - mampu mendengar -
dan melihat - dan menjawab -
Jerit Tangis Dunia
Itu jauh lebih penting daripada
sekedar menjadi se-orang umat Buddha
- pesan Avalokitesvara
Avalokitesvara adalah Boddhisattva Buddhis yang amat dikenal luas - wilayah penyebarannya meliputi Sri Lanka dan India di Selatan hingga Mongolia di Utara. Dari Jepang di Timur hingga Kaukasia di Barat.
Nama Avalokitesvara secara harafiahnya berarti 'Ia yang melihat dan mendengar penderitaan makhluk'. Akar kata Avalokite berarti - melihat ke bawah ( memandang - dalam arti menjawab panggilan ) dan Svara yang berarti - suara pendoa dan jeritan minta tolong. Karenanya - Avalokitesvara juga dapat berarti 'Ia yang Menjawab Jerit Tangis Dunia'.
Avalokitesvara yang di Tiongkok dalam dialek Han Yi / Mandarin dikenal dengan nama Guan Yin ini oleh kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia lebih dikenal dengan namanya dalam dialek Hokkian - Kwan Im. Di Jepang - Avalokitesvara dikenal sebagai Kannon. Di Tibet - Avalokitesvara adalah Cherenzig - dan di Tibet Avalokitesvara merupakan Boddhisattva paling utama karena dianggap sebagai Penjaga Tertinggi Tibet dan Buddha Dharma - hingga saat munculnya Maitreya - Sang Buddha Masa Depan.
PENGERTIAN AVALOKITESVARA :
Sebagai Lambang atau Simbol Karuna :
Dua sayap pencerahan seorang Buddha adalah Prajna - Wisdom , Kebijaksanaan dan Karuna - Compassion/Loving Kindness, Cintakasih/Belaskasih. Avalokitesvara dalam hal ini merupakan perwujudan/personifikasi dari Karuna. Sedangkan Prajna - seringkali dipersonifikasikan sebagai Bodhisattva Manjusri atau Vajrapani. Bodhisattva Manjusri digambarkan sebagai sosok yang memegang buku dan pedang di tangan. Buku berarti Ilmu Pengetahuan - pemahaman Intelektual. Pedang mempunyai makna khusus. Kebijaksanaan berada di atas sekedar pemahaman intelektual - Beyond the Intellect. Pemahaman intelektual pada akhirnya harus dipotong - dilenyapkan oleh pedang - karena pada dasarnya Kebijaksanaan berada di atas sekedar Pemahaman Intelektual walau pun pemahaman intelektual dapat berguna sebagai dasar untuk mengantar pada Kebijaksanaan.
Di Candi Mendut - penggambaran Prajna - Karuna sebagai Dua Sayap Pencerahan seorang Buddha ini tergambar jelas. Di kanan-kiri figur Buddha yang berada di tengah - mengapit figur Vajrapani sebagai simbol Prajna dan figur Avalokitesvara sebagai simbol Karuna. Buddha yang berada di tengah menggambarkan seorang Maha Buddha - Vairocana - yang dengan mudah dikenali dari tangannya yang dalam posisi mudra Dharmacakkramudra : Mudra Pemutaran Roda Dharma - Pembabaran Dharma kepada umat manusia.
Ma Ni dalam Om Ma Ni Pad Me Hum :
Om Mani Padme Hum adalah mantra paling terkenal yang ditujukan kepada Bodhisattva Avalokitesvara. Mantra ini mempunyai pengertian yang amat dalam. Ada beberapa tafsir. Salah satunya adalah yang akan dikemukakan di sini.
Om adalah Asal Muasal, Tao, Kebenaran Mutlak, Kenyataan Akhir - the Final Reality - Thian, Pencerahan, Keberadaan Total - atau apa pun istilahnya. Hum adalah diri, aku, kita.
Terbentang di antara Hum dan Om - antara diri / aku - dengan Asal Muasal, Thian, Tao adalah Mani - the Jewel - Permata yang melambangkan - Compassion - Cintakasih/Belaskasih dan Padme - the Lotus - Teratai yang melambangkan Wisdom - Kebijaksanaan.
Karenanya - Om Mani Padme Hum secara lengkapnya berarti di antara Om dan Hum terdapat Mani dan Padme. Di antara Asal Muasal/Kebenaran Mutlak dan diri kita terbentang Cintakasih/Belaskasih dan Kebijaksanaan. Dengan kata lain - agar diri dapat mencapai Asal Muasal/Kebenaran Mutlak harus melalui Cintakasih/Belaskasih dan Kebijaksanaan.
Avalokitesvara adalah the Jewel - sang Permata. Mantra Om Mani Padme Hum ini sering diterjemahkan sebagai : Hail the Jewel in the Lotus ! Sambutlah sang Permata dalam Teratai ! Cintakasih/Belaskasih dalam Kebijaksanaan adalah bagaikan permata yang bersinar. Tanpa Cintakasih yang bagaikan permata ini - Kebijaksanaan tidak akan bersinar - dan Permata ini adalah Avalokitesvara !
Dhyani Bodhisattva - bukan ' the Goddess of Mercy ' !
Avalokitesvara dalam hagiologi Buddhisme Mahayana adalah seorang Dhyani Bodhisattva. Dalam Buddhisme Mahayana dikenal doktrin yang disebut Trikaya. Dalam doktrin Trikaya ini dikenal adanya tiga tingkat Ke Buddhaan yang meliputi Dhyani Buddha, Dhyani Bodhisattva dan Manusi Buddha.
Hubungan antara ketiganya dapat diuraikan kurang lebih sebagai berikut : Dhyani Buddha digambarkan sebagai Buddha yang selalu dalam keadaan tafakur di alam semesta. Untuk masa ini - Dhyani Buddha adalah Amitabha. Dengan daya emanasi Dhyani Buddha - turunlah ke dunia seorang Manusi Buddha yang bertugas mengajarkan Dharma. Manusi Buddha untuk masa sekarang ini adalah Buddha Sakyamuni atau Buddha Gautama - yang terlahir sebagai manusia Siddharta Gautama, seorang Pangeran dari Kapilavastu. Tugas seorang Manusi Buddha berakhir ketika ia wafat - dan Dhyani Buddha kembali akan mengemanasi - memancarkan wakilnya yang dikenal sebagai Dhyani Bodhisattva untuk memelihara Ajaran Buddha di dunia. Dhyani Bodhisattva untuk masa sekarang ini adalah Bodhisattva Avalokitesvara !
Terjemahan Bodhisattva Avalokitesvara oleh kalangan Barat sebagai ' the Goddess of Mercy ' - mengandung dua kesalahan mendasar dan amat menyesatkan ! Pertama - Avalokitesvara adalah Dhyani Bodhisattva yang dalam hagiologi Buddhisme Mahayana jauh lebih tinggi tingkatannya daripada seorang 'goddess' - seorang dewi. Tingkat seorang Dhyani Bodhisatvva berada jauh di atas sekedar seorang dewa atau dewi !
Ke dua - kata ' mercy ' - seolah mengindikasikan bahwa Avalokitesvara / Guan Yin ' memaafkan ' kesalahan para pemujanya. Tidak ada konsep semacam itu dalam Buddhisme. Konsep yang tepat adalah bahwa Avalokitesvara / Guan Yin adalah personifikasi dari 'karuna' - Guan Yin yang dipenuhi oleh hati Maha Penyayang ( Da Ci ) dan kemudian mengubahnya menjadi Maha Pengasih ( Da Bei ) - dimana Cintakasih merupakan tindakannya.
DARI AVALOKITESVARA ke MAKCO GUAN YIN :
Ketika Konsep bertemu Legenda : Tiongkok bertemu India
Perwujudan awal Avalokitesvara bukanlah perwujudan yang seperti digambarkan dalam figur Guan Yin yang feminin sekarang ini. Perwujudan Avalokitesvara pada awalnya adalah perwujudan dalam bentuk satu figur yang maskulin. Perwujudan Avalokitesvara maskulin ini - ketika masuk ke Tiongkok bertemu dengan legenda Puteri Miao Shan.
Banyak versi legenda Puteri Miao Shan. Yang paling sederhana dan yang paling banyak dikutip para cendekiawan Barat adalah versi yang ringkasnya sebagai berikut ini :
Miao Shan adalah seorang puteri raja yang ayahnya menderita kebutaan sebagai akibat dari karma buruk yang dilakukannya - yaitu membakar vihara sampai habis. Kebutaan ini konon akan bisa disembuhkan apabila ada di antara puteri-nya yang mau mengorbankan matanya.
Dari ketiga puterinya - akhirnya Miao Shan - lah yang bersedia mengorbankan sebuah matanya demi kesembuhan sang Ayah. Setelah pulih kembali penglihatannya - sang Raja pun menyadari kefanaan dunia dan kesalahan-kesalahan hidupnya - dan mulai menjalankan Buddha Dharma.
Sebagai seorang puteri raja yang cantik jelita - akan wajar sekali apabila Miao Shan menjadi sosok yang menikmati dunia. Akan tetapi - kebaikan hati dan cintakasihnya yang boleh dikatakan tak terbatas pada sang Ayah - telah menyebabkan ia rela mengorbankan salah satu matanya demi pulihnya penglihatan sang Ayah. Ini adalah suatu pengorbanan yang sungguh luarbiasa - dan karenanya sungguh layak apabila Miao Shan dianggap sebagai Bodhisattva dalam wujud daging dan darah. Seorang manusia Bodhisattva.
Demikianlah - karena Avalokitesvara pada hakekatnya adalah personifikasi dari cintakasih/belaskasih - dan Miao Shan adalah contoh nyata - sebuah contoh hidup dari seorang puteri raja yang begitu berbelaskasih terhadap ayahnya sehingga sanggup melakukan suatu pengorbanan yang demikian besar - pada akhirnya perwujudan Avalokitesvara di Tiongkok mengambil wujud Puteri Miao Shan. Digambarkanlah Avalokitesvara sebagai seorang Puteri Raja.
Akan tetapi - karena pada dasarnya Avalokitesvara adalah perwujudan dari Bodhisattva - dianggap kuranglah patut apabila Avalokitesvara benar-benar digambarkan sebagai seorang manusia - sebagai seorang Puteri Raja. Akhirnya - yang terjadi adalah - memang perwujudan Avalokitesvara di Tiongkok berwujud feminin - lebih mirip seorang wanita. Akan tetapi ia digambarkan berdada rata - dan ini membawa pesan bahwasanya penggambaran dalam wujud wanita di sini lebih bersifat simbolik daripada nyata.
Avalokitesvara di Akar Rumput Tiongkok :
Pemujaan terhadap Avalokitesvara sebenarnya mengandung beberapa tingkatan pemahaman yang berbeda - dan ini kadang-kadang tidak disadari oleh kebanyakan umat Buddha.
Seorang umat Buddha Tibet yang bersujud di hadapan Avalokitesvara - sesuai konsep yang diyakininya - akan mengkonsepsikan Avalokitesvara sebagai perwujudan Buddha Dharma di dunia. Di mata orang Tibet - Avalokitesvara adalah Cherenzig - personifikasi mutlak dari Buddha Dharma itu sendiri disamping sebagai Pelindung Tertinggi bangsanya - bangsa Tibet. Avalokitesvara - Cherenzig - ini bagi orang Tibet adalah figur yang paling sakral. Ia adalah Getaran Cintakasih dan Belaskasih Semesta - personifikasi dari Buddha Dharma : figur dari Dhyani Bodhisattva untuk masa kini. Karenanya - Pemimpin Tertinggi Spiritual Tibet - Dalai Lama - dianggap sebagai re-inkarnasi dari Avalokitesvara. Tentu lebih dalam arti simbolik daripada nyata.
Seorang umat Buddha Mahayana pada umumnya - ketika bersujud di hadapan Avalokitesvara - akan mengkonsepsikannya sebagai perwujudan dari Karuna - Loving Kindness : Cintakasih/Belaskasih. Ia juga sekaligus juga dipandang sebagai Bodhisattva yang selalu melihat ke bawah - penampung jerit tangis dunia. Bodhisattva yang memperhatikan, menemani - dan mendampingi dalam manusia menapak kehidupan di dunia yang seringkali penuh dengan penderitaan dan masalah-masalah kehidupan : masalah kesehatan, rejeki/keberuntungan dan keselamatan.
Tetapi memang harus diakui bahwa banyak umat di akar rumput - umat Buddha tak terkecuali, juga umat Tri Dharma - penganut San Jiao di akar rumput - ketika bersujud dihadapan altar Bodhisattva Avalokitesvara di sebuah Kelenteng akan cenderung mengkonsepsikan Avalokitesvara lebih sebagai seorang makco Guan Yin - yang kemudian dikonsepsikan sebagai Dewi Penolong dan Pengabul Permohonan. Dan di sini - memang telah terjadi suatu degradasi dari konsep Avalokitesvara. Dari Dhyani Bodhisattva - Avalokitesvara sekedar menjadi seorang Dewi Penolong - seorang makco. Makco Guan Yin !
Perwujudan Avalokitesvara :
Avalokitesvara digambarkan dalam limabelas perwujudan utama. Di samping limabelas perwujudan utama ini masih ada lagi tiga puluh tiga perwujudan dan beberapa perwujudan lain yang juga dikenal luas. Di antara semua bentuk perwujudan itu - yang banyak dikenal adalah antara lain :
Arya Avalokitesvara ( Sheng Guan Yin atau dalam Bahasa Jepang Sho Kannon ) :
Digambarkan memiliki satu wajah dan dua tangan yang dalam posisi saling merangkap - anjali. Duduk di atas teratai, tangan kiri memegang teratai dan tangan kanan membentuk mudra memberi. Atau tangan kiri memegang jambangan - kamandalu - dan yang kanan membentuk mudra abhaya ( tanpa rasa takut ) .
Perwujudan lain yang juga banyak dikenal adalah Avalokitesvara Bertangan Seribu - Jien Shou Guan Yin. Tangan seribu untuk melambangkan bahwa Avalokitesvara selalu bersedia memberikan bantuan kepada begitu banyak makhluk yang membutuhkan bantuan - sehingga seolah ia bertangan seribu.
Konsep Avalokitesvara dalam Praktek Nyata -
Organisasi Sosial Buddhis Tzu Chi / Zoji di Taiwan :
Avalokitesvara merentang seribu tangan - itulah tepatnya yang dilakukan oleh Organisasi Sosial Buddhis Tzu Chi / Zoji yang berpusat di Taiwan. Didirikan pada tahun 1966 oleh Bhikksuni Shih Chenyen / Shi Zhengyan - kini Tzu Chi telah memiliki lebih dari 100 kuil/vihara tersebar dibeberapa bagian dunia dan sekitar 5 Juta staf dan sukarelawan aktif.
Dikenal bergerak cepat dalam menangani / memberikan bantuan medis dan kesejahteraan sosial - Tzu Chi telah berhasil membangun beberapa Rumah Sakit, satu Sekolah Kedokteran dan Perawat - dan satu Universitas.
Pada tahun 1999 - tatkala Taiwan dilanda bencana gempa bumi hebat - sukarelawan Tzu Chi adalah yang pertama tiba di lokasi bencana. Dari 200 sekolah yang hancur akibat gempa tersebut - Tzu Chi berhasil membangun 75 di antaranya. Dan ketika Aceh - Indonesia dilanda bencana Tsunami besar pada akhir tahun 2004 lalu - Tzu Chi bergerak cepat dan berhasil membangun 3800 rumah untuk para pengungsi korban tsunami.
Satu hal yang sungguh patut diacungi jempol adalah bahwa dalam merekrut staf dan sukarelawan - Tzu Chi - sebagai suatu organisasi Sosial Buddhis samasekali tidak melihat latar belakang Agama atau Kepercayaan dari staf atau pun sukarelawan-nya. Jadilah Tzu Chi suatu kelompok pelangi - yang berdiri hanya dengan satu tujuan utama : Kemanusiaan ! Berbicara kenyataan - tidak banyak Organisasi Sosial Berbasis Agama yang mampu mengambil sikap seperti Tzu Chi. Inilah sebuah Organisasi Sosial Buddhis yang benar-benar menjalankan pesan AVALOKITESVARA bukan dalam sekedar teori - tapi dalam praktek kehidupan nyata.
AVALOKITESVARA dalam BUDDHISME ZEN :
Avalokitesvara dalam Buddhisme Zen adalah personifikasi dari Karuna - Belaskasih Universal - yang merupakan pengejawantahan/implikasi dari kenyataan bahwasanya manusia, makhluk dan segala isi Semesta Alam sesungguhnya adalah saling terhubung dan saling tergantung. Zen berpendapat bahwa manusia itu mandiri tapi juga sekaligus tergantung. Mandiri untuk mengembangkan segala potensi diri-nya, akan tetapi juga sekaligus tergantung karena ia pada hakekatnya terhubung dengan segala makhluk dan isi Semesta yang lain. ' Independent - and yet Dependent '. ' Dependent - and yet Independent '.
Bodhisattva Avalokitesvara dalam pemahaman seorang praktisi Zen - adalah suatu model acuan - bukan tempat meminta atau memohon. Dalam Zen dikenal dua aspek - yang merupakan dua sayap pencerahan seorang Buddha. Wisdom and Compassion. Kebijaksanaan dan Cintakasih/Belaskasih. Prajna dan Karuna. Bodhisattva Avalokitesvara adalah personifikasi dari sayap ke dua - Karuna.
Bahwasanya Buddhisme Zen tidak memandang Avalokitesvara/Guan Yin sebagai tempat memohon terilustrasi dalam sebuah cerita Zen berikut ini :
P E N U T U P -
Sebuah kisah Zen : Guan Yin menolong Guan Yin
Seorang pemuda yang sedang menghadapi banyak masalah pergi ke sebuah Kuil Avalokitesvara - Kuil Dewi Guan Yin. Ketika ia masuk ke dalam Kuil - tidak nampak ada orang di sana. Tetapi ketika ia mendekat ke Altar dan akan mulai bersembahyang - ia terkejut melihat seorang wanita muda tiba-tiba berada di dekatnya. Ia mengamati wanita itu - dan alangkah terkejutnya pemuda itu.
Dengan ter-bata bata ia bertanya :
' Anda . . . Anda . . . Bodhisattva Avalokitesvara? Anda . . . Dewi Guan Yin? '
' Ya ' - jawab wanita itu .
Lalu . . . tanya si pemuda : ' Mengapa Anda berada di tempat ini ? '
' Oh ' - jawab Dewi Guan Yin -
' Aku berada di tempat ini karena aku sedang menghadapi banyak masalah '.
' Tapi ' - kata pemuda itu keheranan. ' Bukankan Anda Dewi Guan Yin ? '
' Ya - memang ' - kata Dewi Guan Yin.
' Aku akan meminta tolong pada diriku sendiri ! '.