Senin, 08 Februari 2010

25. Grebeg Sudiro. Sebuah Pembauran Budaya.






























 




















































Keterangan foto - foto. Dari kiri ke kanan - atas ke bawah :

1. Gunungan berisi kue keranjang diarak keluar dari Kelenteng Tien Kok Sie - Pasar Besar - Solo - setelah dilakukan Upacara Pemberkatan. Ada dua buah Gunungan - Gunungan Jaler dan Gunungan Estri.
2. Gunungan sudah mulai diarak - untuk kemudian nantinya isinya dijadikan rebutan oleh para penonton. Ada 2 Gunungan berisi kue keranjang - sebagian kue keranjang tidak ditempatkan di Gunungan karena tidak muat. Pada Grebeg Sudiro tahun 2010 ini kue keranjang yang dibagikan total seberat 1 ton terdiri dari 4.000 buah kue.
3. Bazaar Imlek yang sedang berlangsung di daerah Pecinan Pasar Besar - menyatu dengan acara Grebeg Sudiro.
4. Gadis Tionghoa dan Jawa yang cantik-cantik dari kelurahan Sudiroprajan berpartisipasi dalam kirab dan berdandan bak Putri Cina.
5. Yang ini - mas-mas dari Kelurahan Sudiroprajan juga berpartisipasi dengan berdandan bak rombongan Kera Sakti : Bhikksu Tong Sam Cong yang diiringi oleh Siluman Babi - Pat Kay, Sa Ceng dan Siluman Kera - sang Kera Sakti - Sun Go Kong.
6. Barongsai - Barongsai sedang antri menunggu pemberkatan dari Kelenteng. Tanpa terlebih dulu diberkati di Kelenteng/Li-thang atau Vihara - Barongsai atau pun Liong tak boleh langsung keluar di jalan atau muncul di satu pertunjukan.
7. Liong sedang menerima pemberkatan di Kelenteng Tien Kok Sie.


Grebeg Sudiro. Sebuah Pembauran Budaya. Tradisi Jawa bertemu Tionghoa. Sebuah Akulturasi indah antar dua budaya - yang amat patut dipelihara, dipertahankan dan dilestarikan.

Grebeg Sudiro. Dua kata. Kata Grebeg mengacu pada Tradisi Grebeg. Sudiro adalah kependekan dari Sudiroprajan - nama sebuah Kelurahan di daerah Pecinan di pusat kota Solo.

Tradisi Grebeg adalah sebuah tradisi yang telah lama mengakar dalam budaya Jawa. Kata Grebeg kemungkinan besar berasal dari nama Kyai Gribig - seorang tokoh besar Agama yang hidup di daerah Jatinom - Klaten sekitar 400 tahun lalu.

Di daerah Jatinom - Klaten ada satu Kegiatan Budaya yang disebut Yaqowiyu atau Ongkowiyu - yang diadakan setahun sekali pada tanggal 15 Bulan Sapar - bulan ke dua dalam sistim penanggalan Jawa. Pada hari tersebut - setelah malam sebelumnya diadakan ziarah ke makam Kyai Gribig - diadakan kirab Grebeg Ongkowiyu - dengan Gunungan yang membawa ribuan kue apem yang nantinya akan disebarkan pada masyarakat yang datang menyaksikan yang biasanya juga berjumlah ribuan orang - datang bukan hanya dari daerah sekitar. Masyarakat berbondong-bondong datang agar mereka dapat memperoleh kue apem yang disebar dari sebuah panggung karena mereka meyakini bahwa kue apem pada hari Grebeg Ongkowiyu membawa berkah bagi kehidupan mereka.

Tradisi Grebeg juga dilakukan di Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Dalam tradisi di kedua Kraton - yang dibagikan dan diperebutkan biasanya berupa palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dan sekarang . . . . .

Kita mengenal Grebeg Sudiro. Tradisi baru memperebutkan kue keranjang yang merupakan kue orang Tionghoa untuk merayakan Imlek - yang diarak dalam dua buah Gunungan - Gunungan Jaler dan Gunungan Estri - yang sangat jelas kental bernuansa budaya Jawa.

Grebeg Sudiro sekarang telah secara resmi dimasukkan dalam acara Kegiatan Budaya Tahunan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam rangka promosi pariwisata. Kegiatan Budaya ini baru berusia tiga tahun - dan disisipkan sebagai bagian dari Perayaan Hari Raya Imlek. Grebeg Sudiro yang berlangsung pada tanggal 7 Pebruari 2010 merupakan Grebeg Sudiro yang ke tiga kalinya.

Tradisi baru yang merupakan suatu pembauran budaya - antara tradisi Jawa dan Tionghoa ini - pertama kali dicetuskan oleh warga Sudiroprajan. Kepala Kelurahan Sudiroprajan beserta jajaran aparatnya - para budayawan dan tokoh masyarakat dan LSM di Kelurahan - yang sungguh patut diacungi jempol karena peran mereka yang telah secara aktif mendorong terlaksananya Kegiatan Budaya baru yang sungguh indah dan membangun rasa persatuan ini.

Sebagai catatan - Kelurahan Sudiroprajan terletak di daerah Pecinan tepat di pusat kota Solo - dimana Pasar Besar termasuk di dalamnya. Penduduk Sudiroprajan yang terdiri dari cukup banyak warga etnis Tionghoa telah sejak lama dikenal berinteraksi secara harmonis dengan penduduk suku Jawa di sana. Perkawinan pembauran telah menjadi hal yang biasa terjadi di daerah Sudiroprajan ini.

Pemberkatan ke dua Gunungan dilakukan di Kelenteng Tien Kok Sie - yang lokasinya berada tepat di depan Pintu Utama Pasar Besar. Sebelum kue keranjang dalam Gunungan dibagikan - atau lebih tepatnya diperebutkan - oleh para pengunjung, diadakan kirab Liong dan Barongsai yang sebelum turun ke jalan telah pula meminta pemberkatan di Kelenteng Tien Kok Sie.

Dalam Grebeg Sudiro Tahun 2010 ini - kesenian Liong dan Barongsai yang bernuansa Tionghoa berkolaborasi dengan dengan unsur-unsur kesenian Jawa yang terdiri dari Kesenian Reog Ponorogo, kesenian Topeng Ireng, Kelompok Batik Carnival dan Kelompok Kesenian Merbabu serta tak ketinggalan kelompok Sepeda Onthel. Inilah sebuah Kolaborasi Budaya yang indah. Sebuah Akulturasi yang menyejukkan hati.

Daerah Pecinan Pasar Besar - tempat diadakannya Grebeg Sudiro ini dihiasi dengan ratusan buah Lampion - termasuk pula sebuah Lampion Raksasa yang dipasang tepat di atas Jam Pasar Gede. Pada malam hari - ratusan Lampion yang menyala - memberikan satu pemandangan yang sungguh indah dan sangat oriental.

Di Panggung Kehormatan - Bapak Walikota Solo atau Wakilnya - selalu hadir dalam setiap acara Grebeg Sudiro ini bersama dengan para Tokoh Masyarakat utamanya dari Sudiroprajan - beserta seluruh Elemen Perkumpulan Tionghoa yang ada di kota Solo yang sekarang ini terdiri dari P M S (Perkumpulan Masyarakat Surakarta), Fu Jing, Ho Hap, Perkumpulan Hakka dan MAKIN - Majelis Agama Khong Hu Cu Indonesia.

Kelenteng Tien Kok Sie di Pasar Besar - dalam acara Grebeg Sudiro - selalu menjadi pusat perhatian karena pemberkatan kue keranjang dalam Gunungan Jaler dan Gunungan Estri dilakukan di sini - demikian pula pemberkatan seluruh Liong dan Barongsai yang berpartisipasi dalam acara Grebeg ini. Kelenteng - pun berpartisipasi aktif dan dengan gembira menyambut acara Kegiatan Budaya yang satu ini.

Saya menaruh hormat pada Ketua Pengurus Kelenteng - dan jajarannya - yang tampak sangat antusias dan pro-aktif dalam menyikapi sebuah fenomena Pembauran Budaya yang kita kenal sebagai Grebeg Sudiro ini. Saya pikir - ini adalah sikap yang benar dan sungguh diharapkan dari Para Pemimpin Masyarakat Tionghoa. Sebuah Pembauran Budaya - sebuah Akulturasi indah antara Budaya Jawa dan Tionghoa sangat patut disambut dengan penuh antusias - terutama di kota Solo ini - agar hubungan antara etnis Tionghoa dan Jawa terjalin semakin baik di masa-masa mendatang.

Pembauran Budaya antara Budaya TIonghoa dan Jawa - sesungguhnya apabila kita teliti dan renungkan - telah secara alami terjadi sejak lama.

Dalam hal kuliner - misalnya - berapa banyak makanan yang ada di Indonesia yang sesungguhnya berasal dari Tiongkok? Jumlahnya adalah - sangat sangat banyak. Sebut saja - bakmi, bihun, bakso, tahu, bakmoy, sio-may, capjay, cin-cau, kecap, lon-tong, pia-pia, kue onde, kue-ku, kue wajik (bukankah kata kue in berasal dari Bahasa Hokkian?), bakpia, lumpia - dan juga minuman seperti wedang ronde dan wedang angslee - mereka semua berasal dari Tiongkok. Dan ini pun belum semuanya.

Dan - pembauran atau apa pun istilahnya - terjadi di sana. Lun-pia ala Tiongkok menjadi Lumpia Semarang. Bakpia ala Tiongkok menjadi Bakpia Pathuk ala Yogyakarta. Bakso ala Rumah Makan Tionghoa yang setahu saya tak pernah menyertakan brambang goreng dan daun seledri - menjadi Bakso ala pak Pawirorejo alias Bakso Klewer yang terkenal di kota Solo. Dan sekarang malahan ada yang namanya Bakmi Jawa. Apakah ini bukan sebuah Akulturasi ?

Kemudian juga - beberapa teman saya - umat Kelenteng ber-etnis Tionghoa kadang melakukan Puasa Senin Kamis - atau bahkan juga Puasa Mutih. Ada yang melakukan Tirakat ketika berziarah ke satu tempat yang dianggap sakral - misalnya ketika berkunjung ketempat Pertapaan Tan Tiek Sioe Sian - Petapa Sakti dari Gunung Wilis yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa. Laku-Laku semacam puasa Senin Kamis, puasa Mutih dan Tirakat - bukankah ini juga merupakan sebuah pembauran budaya dalam laku spiritual ?

Kembali ke Grebeg Sudiro. Jelaslah bahwa Grebeg Sudiro adalah sebuah Pembauran Budaya yang bernilai amat positip bagi hubungan antara etnis Tionghoa dan Jawa - yang kebetulan dimulai di kota Solo. Kegiatan Budaya ini adalah sebuah Akulturasi indah yang harus didukung secara penuh oleh segenap warga Tionghoa di kota Solo.

Grebeg Sudiro adalah sebuah permulaan yang baik. Para Pemimpin Masyarakat Tionghoa seyogyanya menyadarinya dan menyikapinya secara benar dan bijak. Pembauran Budaya adalah sebuah Dialog Batin yang indah - yang harus dipertahankan, dipelihara dan dilestarikan.

Grebeg Sudiro ibarat sebuah kue Ampyang. Ampyang di Solo sering disebut sebagai kue pembauran karena Ampyang terbuat dari Gula Jawa dan Kacang Cina. Bahkan - anak hasil perkawinan antara etnis Tionghoa dan Jawa sering secara berkelakar disebut sebagai Ampyang.

Ampyang adalah sebuah kue kering yang enak rasanya. Manis di Rasa - Nikmat di Hati. Demikian juga Grebeg Sudiro yang Enak di Rasa - dan Nyaman di Hati. Biarkan tradisi lokal menjadi bagian dan mewarnai Perayaan Imlek - dan biarkan Imlek menjadi bagian dari tradisi lokal. Semua ini terangkum dengan manis dalam Grebeg Sudiro. Warga Tionghoa seyogyanya mendukung penuh. Semoga - semoga pembauran indah ini menyebar ke se-antero Nusantara. Ini sebuah pembauran budaya yang menyegarkan dan menyejukkan !

Dengan semangat Pembauran Budaya - mari kita songsong bersama Tahun Macan Logam 2561 yang akan segera tiba.

Xin Cun Gong Xi !
Rahayu ! Rahayu !
Shanti. Shanti. Shanti.