pojokzen
situs Buddhisme - Zen - Taoisme dan Budaya Tionghoa
Kamis, 06 Juni 2019
Rabu, 11 Desember 2013
34. Vihara Bhakti Suci Kopeng. Ungkapan Bhakti dari Suci.
Suatu malam hari lebih dari tujuhbelas tahun lalu. Suci - isteri dari Joko Singgih Sugiarto tergolek
lemah dalam keadaan koma - di kamar perawatan sebuah Rumah Sakit di Surabaya. Penderita
diabetes akut ini sebelumnya telah dibawa berobat kemana mana - bahkan
hingga ke manca negara - namun tiada hasil.
Suaminya - Joko Singgih
- merasa pupus harapan. Dalam keheningan tengah malam - dengan hati
galau - ia melangkahkan kaki ke luar dan di halaman Rumah Sakit ia pun
berdoa kepada Sang Penguasa Semesta memohon kesembuhan bagi isteri
tercinta. Dalam doa yang dipanjatkannya itu ia pun mengungkapkan isi
hatinya bahwa ia akan membangun sebuah vihara apabila isterinya - Suci - mendapatkan kesembuhan.
Tak diduga - mujizat terjadi. Suci pun sembuh. Masih mengidap diabetes memang - namun nyawanya terselamatkan dan hingga hari ini - Suci masih dapat menunggui anak cucunya. Atas kesembuhan ini - Joko pun kemudian berusaha menepati janjinya. Ia akan segera membangun sebuah vihara. Namun pada waktu itu - Joko tak lagi punya cukup uang. Dengan bekal tekad dan keyakinan demi memenuhi janji - Joko pun
meng-anggunkan beberapa aset miliknya dan kemudian mempergunakan
uangnya untuk membangun sebuah vihara - di salah satu tanah miliknya di Kilometer 12 di Jalan Raya Salatiga Kopeng - dan vihara yang dibangun
itu kemudian diberi nama Vihara Bhakti Suci - sebagai sebuah Ungkapan Terimakasih dan Bhakti bagi kesembuhan Suci - isterinya.
Pembangunan
vihara dimulai pada tahun 1996 dan selesai satu tahun kemudian pada
tahun 1997. Segera setelah vihara selesai dibangun, Joko
merasa bahwa peruntungannya membaik dan semakin membaik. Ia pun kemudian
menjadi semakin yakin bahwa keputusannya untuk membangun sebuah vihara
adalah sebuah keputusan yang tepat.
Isterinya - Suci - kini telah sembuh. Peruntungan Joko jauh membaik. Kini ia sungguh merasa telah mendapat berkah dari Sang Penguasa Semesta, dari sang Buddha dan dari sang Bodhisattva Avalokitesvara - Guan Shi Yin Pu Sa - yang kemudian di Altarkannya di Altar Utama Vihara yang dibangunnya itu.
Vihara tampak dari Jalan Raya
Vihara Tampak Samping
Vihara Tampak Depan - terlihat di ketinggian
Kho Kian Hien alias Hindarto - Dayakasaba / Kepala Pengurus Vihara Bhakti Suci pun merasa mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Joko - pemilik vihara. Pria yang dilahirkan 55 tahun lalu ini kehidupannya merosot tajam belasan tahun yang lalu ketika ia pindah dari Semarang ke kota Salatiga.
Vihara Bhakti Suci ini terletak kira-kira di Kilometer 12 di Jalan Raya Salatiga - Kopeng dan sudah sangat dekat dari Kota Wisata Kopeng yang terletak kira-kira di Kilometer 13 dari kota Salatiga. Lokasinya sungguh sangat strategis. Vihara Bhakti Suci berada di tempat yang cukup tinggi - untuk mencapainya kita harus menaiki puluhan anak tangga. Vihara berkedudukan di Selatan, menghadap ke Utara. Dari arah depan vihara - di sebelah kiri - arah Timur agak di belakang vihara, nampak cukup dekat Gunung Merbabu, dengan Gunung Merapi berada tepat di belakangnya. Di sebelah kanan - arah Barat - nampak berjajar Gunung Andong dan Gunung Telomoyo. Sedang di arah Utara - arah depan Vihara - nampak di kejauhan Gunung Gajah - sebuah gunung kecil yang memang berbentuk seperti seekor gajah - lengkap dengan kepala dan belalainya. Bhakti Suci - vihara dengan luas area 2,8 hektar ini - memang sebuah vihara dengan pemandangan seputar yang sungguh indah. Dari depan vihara yang terletak di tempat yang cukup tinggi itu - sejauh mata memandang sekeliling - terpapar pemandangan indah gunung gunung - dan hijau rimbunnya pepohonan.
Hio-Lo Thian Gong di Teras depan Dharmasala - Bodhisattva Avalokitesvara / Guan Shi Yin Pu Sa dan Sang Buddha di Altar Utama
Vihara Tampak Samping
Vihara Tampak Depan - terlihat di ketinggian
Kho Kian Hien alias Hindarto - Dayakasaba / Kepala Pengurus Vihara Bhakti Suci pun merasa mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Joko - pemilik vihara. Pria yang dilahirkan 55 tahun lalu ini kehidupannya merosot tajam belasan tahun yang lalu ketika ia pindah dari Semarang ke kota Salatiga.
Namun
- dalam kurun waktu 14 tahun ia membaktikan diri - ikut mengurusi
vihara dengan tanpa pamrih - kehidupannya berangsur membaik dan semakin
membaik. Ia pun kemudian merasa yakin bahwa seperti halnya Joko Singgih - pemilik vihara - ia pun telah mendapatkan berkah dan keberuntungan dari pengabdiannya kepada vihara.
Kho Kian Hien - alias Hindarto - Dayakasaba/Kepala Pengurus Vihara
Lain pula halnya dengan Tan Tjie Ming -
Pengurus Rumahtangga Vihara - yang berpembawaan tenang, sabar - dan baik hati. Pria berusia 58 tahun asal Magelang ini
mengaku bahwa sejak ia mengabdikan diri di Vihara mulai 4 tahun yang lalu -
ia merasa bahwa ia telah memperoleh berkah ketenangan hidup dan kedamaian batin
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini pula yang membuat pria yang
telah puluhan tahun menjalani laku Ciak-Jay / memantang daging ini merasa mantap untuk terus mengabdi di Vihara Bhakti Suci - menjalankan tugasnya sebagai Pengurus Rumahtangga Vihara.
Tan Tjie Ming - Pengurus Rumahtangga Vihara
Tan Tjie Ming - Pengurus Rumahtangga Vihara
Vihara Bhakti Suci ini terletak kira-kira di Kilometer 12 di Jalan Raya Salatiga - Kopeng dan sudah sangat dekat dari Kota Wisata Kopeng yang terletak kira-kira di Kilometer 13 dari kota Salatiga. Lokasinya sungguh sangat strategis. Vihara Bhakti Suci berada di tempat yang cukup tinggi - untuk mencapainya kita harus menaiki puluhan anak tangga. Vihara berkedudukan di Selatan, menghadap ke Utara. Dari arah depan vihara - di sebelah kiri - arah Timur agak di belakang vihara, nampak cukup dekat Gunung Merbabu, dengan Gunung Merapi berada tepat di belakangnya. Di sebelah kanan - arah Barat - nampak berjajar Gunung Andong dan Gunung Telomoyo. Sedang di arah Utara - arah depan Vihara - nampak di kejauhan Gunung Gajah - sebuah gunung kecil yang memang berbentuk seperti seekor gajah - lengkap dengan kepala dan belalainya. Bhakti Suci - vihara dengan luas area 2,8 hektar ini - memang sebuah vihara dengan pemandangan seputar yang sungguh indah. Dari depan vihara yang terletak di tempat yang cukup tinggi itu - sejauh mata memandang sekeliling - terpapar pemandangan indah gunung gunung - dan hijau rimbunnya pepohonan.
Gunung Telomoyo nampak di kejauhan di arah Barat Vihara
Gunung Merbabu tertutup kabut nampak di arah Timur Vihara
Saya
sendiri mengambil posisi sebagai seorang Buddhis Non Sektarian - dan
karenanya bagi saya - penataan Altar seperti ini tidak begitu menjadi
masalah.
Bangunan Vihara terdiri dari Teras di bagian depan. Di sini ditempatkan sebuah Hio-Lo Thian Gong berukuran besar. Di sebelah kiri - di halaman - ada sebuah Tempat Pembakaran berbentuk sebuah Hu-Lu besar. Sedang di Ruang Utama Dharmasala - terdapat sebuah Altar Pemujaan Besar yang menyatu - dengan dua buah Rupang bersebelahan. Rupang Sang Buddha dalam posisi mudra Dharma Cakra Mudra - di sudut Naga di sebelah kanan dari arah depan, di sampingnya Rupang Sang Bodhisattva Avalokitesvara/ Guan Shi Yin Pu Sa di
sudut Macan di sebelah kiri dari arah depan. Rupang di sudut Naga
berukuran lebih besar dibanding rupang di sudut Macan - demikian juga Hio-Lo / tempat dupanya. Sang Buddha di sini - menurut saya dapat di tafsirkan sebagai Buddha Sakyamuni - sang Guru Agung Umat Manusia yang telah membabarkan Dharma - namun dapat pula dianggap sebagai representasi dari Buddha Vairocana - sang Maha Buddha - dilihat dari mudra pada rupangnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa penataan Altar di Vihara Bhakti Suci ini memang terkesan unik. Ada Hio-Lo Thian Gong di Teras, Rupang Sang Buddha dan Bodhisattva Avalokitesvara/ Guan Shi Yin Pu Sa di Altar Utama Dharmasala. Dan ada pula Sarana Pak Pwee dan Ciam Sie di Altar Utama - dan juga ada sebuah Tempat Pembakaran Kertas Sembahyang/Kim Coa di sebelah kiri Dharmasala. Semuanya ini tentu memberi kesan unik dan tidak biasa.
Hio-Lo Thian Gong di Teras depan Dharmasala - Bodhisattva Avalokitesvara / Guan Shi Yin Pu Sa dan Sang Buddha di Altar Utama
Tempat Pembakaran Kertas Sembahyang/ Kim Coa di halaman sebelah kiri
Di arah depan Vihara - tampak di bawah karena lokasi
vihara yang cukup tinggi - nampak sebuah Gedung Komplek Penginapan yang
diperuntukkan bagi para umat/pengunjung yang ingin menginap di vihara.
Komplek Penginapan ini mempunyai 11 kamar dan sebuah Ruang Makan besar.
Sedang di sebelah kiri vihara dari arah depan - agak di belakang ada
satu bangunan Kuti - dua lantai - yang diperuntukkan bagi para Bhikkhu/Bhikksu/Bhikksuni
yang datang berkunjung dan menginap di vihara. Di sebelah kanan
Bangunan Penginapan ada sebuah Bangunan untuk kegiatan Serba Guna.
Kuti dua tingkat - di sebelah kanan Dharmasala agak di belakang
Saya menginap di Vihara Bhakti Suci ini pada tanggal 16 - 17 Nopember 2013 yang lalu. Malam tanggal 16 adalah tepat saat Malam Purnama. Malam Cap Go dalam
tradisi Tionghoa. Bertiga bersama dua teman - saya menginap dan
menunggu saat jam 12.00 malam tepat - saat kami akan bersama berdoa/ Tiam Hio - dan kemudian melakukan Pradaksina sebanyak 6 kali mengelilingi Dharmasala - dengan arah berlawanan dengan arah jarum jam. ( Dalam Tradisi Buddhis - setahu saya - biasanya Pradaksina hanya dilakukan 3 kali - dengan arah searah jarum jam - melambangkan penghormatan kepada Buddha, Dharma dan Sangha. )
Namun dalam hal ini - saya sekedar mengikuti saja teman yang mengajak
saya - yang telah puluhan kali datang dan menginap di Vihara Bhakti Suci ini.
Teman yang mengajak saya ini ternyata juga punya pengalaman unik dengan Vihara Bhakti Suci ini. Seperti halnya pemilik vihara, Joko Singgih, dan Dayakasaba Kho Kian Hien - teman saya juga merasa telah mendapat berkah dan pertolongan dari Vihara Bhakti Suci.
Karenanya ia kemudian jadi sering berkunjung dan menginap di Vihara -
telah puluhan kali - bahkan - dan kemudian ia juga mengajak teman dan
sahabat untuk ikut bersamanya. Saya sendiri baru sekali ini diajak ke
sini - tapi teman yang lain - seorang pengusaha besar dari Jakarta telah
diajak berkunjung tiga kali.
___________
Ketika melakukan Pradaksina -
saya pun merenungkan masalah masalah kehidupan yang belakangan ini
semakin berat menerpa hidup saya. Segalanya memang terasa berat dan
semakin berat. Dan perhatian saya pun kemudian lebih banyak tertuju pada
Sang Avalokitesvara yang ada di Altar Utama Vihara ini.
Bodhisattva Avalokitesvara. Guan Shi Yin Pu Sa.
Ia yang Melihat. Ia yang Mendengar. Ia yang Menjawab Jerit Tangis
Penderitaan Makhluk. Demikian secara harafiah terjemahan dari Avalo - Kite - dan Svara Bahasa Sansekerta ini. Avalo - Yang Melihat. Kite - Yang mendengar. Svara - Suara/Jerit Tangis Penderitaan Makhluk/Dunia. Guan Shi Yin adalah terjemahan Bahasa Tionghoa nya. Pu Sa berarti Bodhisattva. Guan Shi Yin ini dalam dialek Hokkian adalah Kwan She Im - nama resmi dari yang lebih banyak dikenal sebagai Mahadewi Kwan Im - sang Mahadewi Cintakasih dan Welas-Asih.
Getaran Cintakasih dan Welas-Asih Semesta yang direpresentasikan sebagai Avakokitesvara
ini bagi banyak orang terasa menyejukkan. Ketika kita memikul beban
kehidupan yang berat - ada satu Getaran, Kekuatan di Alam Semesta yang
peduli. Ia Melihat. Ia Mendengar. Ia Menjawab. Ia Mengulurkan Tangan.
Namun Avalokitesvara bukanlah
sekedar Tempat Bersandar. Ia juga memberi contoh bagaimana kita sebagai
manusia harus bersikap. Cintakasih dan Welas-Asih adalah penghubung. Ia adalah perekat bagi semua makhluk - antara satu dengan yang lain.
Sifat
Cintakasih dan Welas-Asih ini dapat mengikis dominasi Ego kita - dan dengan
terkikis habisnya dominasi Ego akan membawa kita ke Pencerahan - karena
pada dasarnya segala sesuatu adalah An-Atman. An-Atta.
Avalokitesvara pada awalnya di India di representasikan dalam wujud maskulin. namun ketika Buddhisme Mahayana masuk ke Tiongkok dan bertemu dengan Taoisme Kedewaan - muncullah sebuah Legenda tentang Putri Miao Shan yang konon dipercaya sebagai inkarnasi dari sang Avalokitesvara. Sejak itu - di Tiongkok - representasi wujud Avalokitesvara berubah menjadi feminin - dan lebih dikenal secara umum sebagai Guan Shi Yin - Kwan She Im dalam dialek Hokkian nya. Sebagai Mahadewi Kwan Im - sang Mahadewi Cintakasih dan Welas-Asih.
Figur Dewi Penolong Umat Manusia ini sebenarnya juga ada di Budaya Spiritualitas yang lain - di Tiongkok Kuno - ada Wang Mu Niang-Niang yang banyak dipuja sebagai Dewi Penolong sebelum munculnya Avalokitesvara di sana. Juga dalam Tradisi Agama Katolik - ada Bunda Maria - yang melalui Doa Novena banyak dipuja dalam doa oleh para penganut Agama Katolik di Goa-Goa Maria yang ada di banyak lokasi.
Avalokitesvara pada awalnya di India di representasikan dalam wujud maskulin. namun ketika Buddhisme Mahayana masuk ke Tiongkok dan bertemu dengan Taoisme Kedewaan - muncullah sebuah Legenda tentang Putri Miao Shan yang konon dipercaya sebagai inkarnasi dari sang Avalokitesvara. Sejak itu - di Tiongkok - representasi wujud Avalokitesvara berubah menjadi feminin - dan lebih dikenal secara umum sebagai Guan Shi Yin - Kwan She Im dalam dialek Hokkian nya. Sebagai Mahadewi Kwan Im - sang Mahadewi Cintakasih dan Welas-Asih.
Figur Dewi Penolong Umat Manusia ini sebenarnya juga ada di Budaya Spiritualitas yang lain - di Tiongkok Kuno - ada Wang Mu Niang-Niang yang banyak dipuja sebagai Dewi Penolong sebelum munculnya Avalokitesvara di sana. Juga dalam Tradisi Agama Katolik - ada Bunda Maria - yang melalui Doa Novena banyak dipuja dalam doa oleh para penganut Agama Katolik di Goa-Goa Maria yang ada di banyak lokasi.
Dalam konsep Agama Buddha Mahayana awal di India - dikenal adanya beberapa tingkatan ke Buddha-an yang meliputi : Dhyani Buddha, Dhyani Bodhisattva dan Manusi Buddha. Hubungan antar ke tiganya dapat kiranya di ilustrasikan sebagai berikut :
Dhyani Buddha di gambarkan sebagai Buddha yang selalu dalam keadaan Tafakur. Buddha Semesta. Dengan daya emanasi Dhyani Buddha - turunlah ke dunia seorang Manusi Buddha yang bertugas mengajarkan Dharma bagi umat manusia. Setelah Manusi Buddha wafat - kembali Dhyani Buddha memancarkan daya emanasinya dan muncullah Dhyani Bodhisattva. Tugas Dhyani Bodhisattva berakhir ketika akhir jaman karena dunia tidaklah kekal dan suatu ketika akan muncul sebuah jaman baru.
Setiap jaman - seperti dapat dilihat dalam ilustrasi di Candi Borobudur - mempunyai rangkaian Dhyani Buddha - Dhyani Bodhisattva dan Manusi Buddha sendiri-sendiri. Untuk masa sekarang - Dhyani Buddha adalah Buddha Amitabha. Dhyani Bodhisattva - Bodhisattva Avalokitesvara dan Manusi Buddha adalah Buddha Sakyamuni yang terlahir sebagai Pangeran Siddharta Gautama.
Amitabha
secara harafiahnya berarti - Cahaya atau Enerji tak terbatas - dalam
Ruang yang tak terbatas. Sebuah definisi untuk Yang Tertinggi. Avalokitesvara adalah representasi dari Getaran/Kekuatan Cintakasih dan Welas-Asih Semesta yang menyatukan semua makhluk.
Namun - konsep awal Buddhisme Mahayana India ini kemudian banyak berubah ketika Buddhisme masuk ke Tiongkok dan bertemu dengan Taoisme - dalam hal ini Taoisme Kedewaan. Penafsiran figur figur suci dalam Buddhisme Mahayana India - kemudian sangat jauh ter-inflitrasi sistim kedewaan Taoisme - dan Agama Buddha Mahayana Tiongkok pun kemudian muncul dengan satu sistim Hagiologi Kedewataan yang berbeda.
Konsep awal dari Amitabha berubah - demikian juga konsep Avalokitesvara mengalami
sedikit pemahaman yang berbeda. Nah - dalam konteks pemahaman seperti
ini - kita dapat nantinya memahami mengapa Buddhisme Mahayana Tiongkok
kemudian menjadi berbeda. Dan dalam konteks pemahaman ini pula - kita
dapat lebih memahami penataan Altar yang unik dan tidak biasa di Vihara Bhakti Suci ini.
_____________
Selesai berdoa dan ber Pradaksina dari
pukul 12.00 tengah malam hingga kurang lebih pukul 01.00 dini hari -
kami pun kembali ke Penginapan. Ketika menuruni tangga vihara dan
saya mendongak ke atas - tampaklah Bulan bulat penuh. Purnama. Dalam
keremangan malam - terlihat bangunan vihara menjulang ke atas -
menebarkan aroma Sakral. Sebuah vihara bagaimana pun juga adalah
layaknya sebuah Mandala - tempat kita terhubung dengan Yang Tertinggi.
Keesokan
harinya - saya bergegas bangun - memang saya sudah terbiasa bangun pagi
hari. Saya lihat ke dua teman saya masih tidur pulas terbuai mimpi.
Sekali lagi saya pun naik ke Vihara pada jam 05.00 pagi. Hawa di luar
terasa sangat dingin - dan saya pun masuk ke Dharmasala mencoba bermeditasi di ruang dalam.
Pagi
yang hening. Dingin yang menggigit. Dalam keheningan meditasi - waktu
terasa berhenti. Segalanya terasa diam. Tiada gerak. Yang ada hanyalah
Ketenangan dan Kedamaian dalam dinginnya udara pagi hari.
Ketika
kemudian udara terasa semakin hangat - saya pun menyadari bahwa jam
telah terus bergerak - dan menunjuk pukul 06.00 pagi hari. Saya pun
bergegas turun dan kemudian mengambil beberapa foto untuk ilustrasi
tulisan ini.
Di kejauhan - di arah depan - kiri dan kanan nampak gunung-gunung di seputar vihara ini. Gunung Merbabu, Merapi di belakangnya - Gunung Telomoyo , Andong dan Gajah. Sebuah vihara yang dikelilingi gunung - sungguh satu lokasi yang sangat strategis dan indah - satu lokasi yang tentu membawa Feng Shui yang sangat bagus.
Tapi
saya tak punya waktu lagi untuk menikmati keindahan ini - ke dua teman
saya tampaknya telah bangun - dan naik berdoa di Vihara. Kemudian mereka
bergegas turun dan kami pun harus bersiap-siap untuk memulai perjalanan
pulang.
Vihara Bhakti Suci.
Sebuah Vihara yang unik yang mempunyai ciri khas-nya tersendiri.
Sebuah Vihara yang dibangun sebagai Sebuah Ungkapan Terimakasih dan
Bhakti dari Suci - isteri dari pengusaha sukses Joko Singgih Sugiarto - sebagai ungkapan terimakasih untuk kesembuhannya. Sebuah Ungkapan Bhakti dari Suci. Vihara Bhakti Suci.
Namo Avalokitesvara Bodhisattvaya Mahasattvaya
Namo Guan Shi Yin Pu Sa
Om Mani Padme Hum
Solo - 29 Nopember 2013
Aryanto Wong
Kamis, 24 Mei 2012
33. Meditasi Tong Len. Meditasi Avalokitesvara.
Dua mata kita hanya melihat
apa yang ingin dilihat
Dua telinga kita hanya mendengar
apa yang ingin didengar
Hanya mata Guan Yin
melampaui mata manusia
Hanya telinga Guan Yin
mampu mendengar tangisan tanpa suara
Jadilah manusia yang mampu
melihat dan mendengar dan menjawab
jerit tangis dunia
jerit tangis dunia
Itu jauh lebih penting
daripada sekedar menjadi seorang umat Buddha
pesan sang Avalokitesvara
Bodhisattva Avalokitesvara - Guan Shi Yin Pu Sa - dalam Bahasa Mandarin-nya. Kata Avalokitesvara secara harafiahnya berarti : Avalo - Yang Melihat. Kite - Yang Mendengar. Svara - Suara Penderitaan Makhluk. Karenanya secara utuh - Avalokitesvara dapat diartikan sebagai - Ia yang melihat dan mendengar suara penderitaan makhluk. Kadang - kadang ada pula terjemahan bebasnya : Ia yang melihat, mendengar dan menjawab jerit tangis dunia.
Meditasi Tong Len adalah sebuah meditasi yang berasal dari Tradisi Agama Buddha aliran Vajrayana Tibet - yang tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan sifat Cintakasih dan Belaskasih dalam diri manusia agar manusia dapat mencapai Pencerahan dengan jalan mengembangkan sifat-sifat Bodhicitta - sifat Cintakasih dan Belaskasih seorang Bodhisattva. Karenanya - mungkin tidak berlebihan apabila ada yang kemudian menyebut Meditasi Tong Len ini sebagai Meditasi Avalokitesvara.
Meditasi Tong Len berasal dari kata Tong - yang artinya Memberi dan Len - yang artinya Menerima. Memberi dan Menerima. Bukan dibalik - Menerima dahulu dan baru kemudian Memberi. Memang ada makna dibalik pengertian ini.
Meditasi Tong Len sering dianggap sebagai meditasi untuk menumbuhkan dan menghidupkan sifat Altruisme dalam diri manusia - dengan cara yang ekstrem. Memang kalau kita telah mengerti bagaimana cara atau metode melakukan Meditasi Tong Len ini - mungkin saja timbul kesan bahwa metode yang dipakai memang dapat dikatakan ekstrem - dengan catatan bahwa metode ekstrem ini dilakukan semata-mata dengan tujuan yang sangat positip dan sungguh baik.
Meditasi Tong Len dilakukan dengan pernafasan - disertai pelafalan 3 suku kata sakral : OM - AH dan HUM. Dalam konteks Meditasi Tong Len ini - OM , AH dan HUM berfungsi sebagai Pembersih Batin.
OM - divisualisasikan sebagai warna Putih - dan berunsur Air.
AH - divisualisasikan sebagai warna Merah - dan berunsur Api.
HUM - divisualisasikan sebagai warna Biru dan berunsur Angin/Udara.
Ini setara dengan RAM - YAM - KHAM yang banyak digunakan sebagai Sarana Pembersihan dalam Puja - Puja Persembahan dalam Agama Buddha Aliran Vajrayana - misalnya dalam Puja Dzambala Hitam.
RAM - Merah - berunsur Api.
YAM - Biru - berunsur Angin/Udara.
KHAM - Putih - berunsur Air.
Teknik Pelaksanaan Meditasi Tong Len adalah sebagai berikut :
Pertama meditator duduk dengan punggung tegak - tetapi relaks. bahu turun, mata terpejam ringan.
Tarik napas panjang - ucapkan OM - sambil bervisualisasi bahwa kita menarik seluruh penderitaan makhluk yang ada di 6 Alam Kehidupan.
Napas masuk - kita turunkan ke perut bagian bawah sambil melafal AH - dengan visualisasi mengolah seluruh penderitaan makhluk tersebut menjadi suatu enerji positip - menjadi pancaran Cintakasih dan Belaskasih.
Keluarkan napas dengan melafalkan HUM - visualisasi - berikan/pancarkan seluruh Cintakasih dan Belaskasih itu kepada segenap Makhluk yang sedang menanggung beban penderitaan.
Ketika kita mau menyerap penderitaan makhluk lain dan kemudian meng-identifikasi penderitaan tersebut dengan penderitaan diri kita sendiri - kita melakukan satu hal yang sangat positip dan amat bermanfaat. Kita akan melarutkan Ego kita. Kita akan meningkatkan kesadaran batin kita tentang kefanaan dunia - memahami kenyataan tentang Dukkha yang tak terelakkan. Mengerti Dukkha dan mencari jalan agar kita dapat membebaskan diri dari Dukkha - sesungguhnya adalah Inti dari Ajaran sang Buddha.
" Sesungguhnya aku hanya mengajarkan satu hal saja. Dukkha - dan bagaimana membebaskan diri dari Dukkha ". Demikian kata sang Buddha.
Memahami Dukkha makhluk lain adalah cara yang amat efektif untuk mengikis Dukkha diri kita sendiri - kepedihan Hidup yang kita sendiri alami. Menyelami dan merasakan penderitaan makhluk lain seringkali menjadi obat yang sangat mujarab bagi kita untuk melupakan dan melarutkan penderitaan diri kita sendiri. Selama kita berada di 6 Alam Kehidupan - bagaimana pun kita tidak akan dapat terlepas dari jangkauan Dukkha dan Lingkaran Samsara - bahkan dalam pemahaman Buddhis - ketika kita berada di Alam Surga sekali pun.
Satu jalan untuk mengikis penderitaan adalah dengan menghancurkan luluhkan Ego kita - konsep tentang Diri - tentang Aku yang sesungguhnya adalah Maya. An - Atta demikian kata sang Buddha. Tiada Diri yang kekal - tiada Diri yang dapat dipegang.
Pada waktu saya masih belajar di Fakultas Sastera Inggris - kembali ke akhir tahun 1970 an - sebagai bagian dari Mata Kuliah Telaah Novel - saya membaca satu novel yang sungguh menarik yang terus saya ingat hingga sekarang - yang berkisah tentang bagaimana seorang manusia terlepas dari beban penderitaan batin yang dialami dalam hidupnya. Novel itu - A Burnt Out Case - ditulis oleh seorang Penulis Inggris terkemuka - Graham Greene.
A Burnt Out Case berkisah tentang seorang Arsitek terkenal di Eropa. Muda, sangat berbakat, tampan, kaya raya. Seorang Selebriti. Seorang Arsitek kelas dunia. Pada puncak karirnya itu - ia telah memiliki apa yang diinginkan kebanyakan manusia : Kekayaan, Nama Tenar, Kemewahan Hidup, Wanita. Ia benar-benar hidup di Surga Dunia.
Namun apa hendak dikata - setelah beberapa waktu menikmati karunia dunia ini - ia mulai merasa tidak berbahagia. Tidak tenang. Ada kekosongan dan kejenuhan di relung hatinya akan semuanya ini. Seperti Siddharta - pada awal awal perjalanan spiritualnya - Ia merasakan ada sesuatu yang hilang - ada kekosongan dan kehampaan. Dan ini membuat hidupnya tak lagi tenang - tak lagi bahagia. Bahkan ia merasa telah kehilangan makna akan kehidupan ini. Kejenuhan telah menguasai hidupnya. Hidupnya - yang dari luar tampak begitu gemerlap - tak lagi dirasakan mempunyai makna.
Pada saat-saat yang kritis itu - karena galau dan bingung - ia membuat suatu keputusan yang ekstrem. Ia mengasingkan diri ke sebuah Pulau - yang merupakan Pusat Rehabilitasi bagi penderita penyakit Kusta - tempat yang tak banyak orang mau berkunjung ke sana - tapi justru ke sana lah sang Arsitek muda ini mengasingkan diri dari kejenuhan hidup yang dirasakannya.
Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ketika ia kemudian memutuskan untuk ikut membantu para penderita Kusta di Pulau terpencil itu - sedikit demi sedikit ia merasakan kejenuhan dan kehampaan hidupnya lenyap. Ketika ia kemudian ikut memberikan dirinya bagi para penderita Kusta itu - ia mendapatkan kebahagiaan hidup yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ketika ia memberikan dirinya bagi penderitaan orang lain - penderitaan yang ia rasakan tanpa terasa ikut larut dalam kepeduliannya itu - dan ia pun mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan batin.
Yang terjadi - sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat Alami. Tong Len - Memberi dan Menerima. Memberikan diri sendiri bagi orang lain - menyerap penderitaan makhluk lain - secara otomatis akan menyebabkan penderitaan diri sendiri ikut terserap. Memang sebuah fakta yang menakjubkan dari Altruisme murni - yang dilakukan tanpa pamrih - yang dilakukan karena tingkatan batin seorang manusia yang telah mencapai satu tingkat tertentu - yang bisa saja justru dimulai dari kejenuhan akan kehidupan itu sendiri - seperti yang dialami Arsitek muda dalam novel terkenal itu.
Itulah Intisari dari Ajaran Tong Len. Menyerap penderitaan orang lain - makhluk lain - yang kemudian justru akan ber-transformasi menjadi sesuatu enerji positip yang akan melarutkan penderitaan diri sendiri.
Ajaran Tong Len adalah ajaran yang dalam. Tidak mudah dipahami oleh kebanyakan orang - yang ketika berusaha untuk lari dari penderitaan hidup - akan mengejar kenikmatan bagi dirinya sendiri. Kenikmatan hidup memang memberikan kesenangan - tetapi tidak akan dapat memberikan kebahagiaan yang sejati. Kenikmatan dan kenyamanan hidup yang berlebihan - bahkan pada akhirnya akan menimbulkan Kejenuhan, Kekosongan dan Kehampaan.
A k h i r n y a . . .
Ada fakta mengejutkan bahwasanya Meditasi Tong Len ini ternyata bukan berasal dari Tibet - melainkan dari Tanah Nusantara. Dari Swarna Dwipa - Sumatera sekarang - pada masa Kerajaan Sriwijaya.Meditasi ini berasal dari seorang Maha Bhikksu - Atisha Shrijnana Dipankara yang berasal dari Benggala - India.
Atisha - Dipankara Shrijnana Atisha ( 980 - 1054 ) ketika itu berada di Swarna Dwipa - di Kerajaan Sriwijaya , Sumatera - belajar dari Gurunya Serlingpa Dharmakirti.
Adalah Atisha yang menciptakan Meditasi Tong Len ini dan kemudian memperkenalkan dan mengajarkannya di Tanah Himalaya. Meditasi yang luarbiasa ini - yang dipraktekkan bahkan oleh Dalai Lama sekarang Tenzin Gyatso dalam kesehariannya - kini telah masuk sebagai bagian dalam Ajaran Buddhisme Vajrayana/Tantrayana Tibet.
Dan seribu tahun setelah Meditasi Tong Len ini diciptakan oleh Atisha - kini para Rinpoche dari Tanah Himalaya - mengajarkannya di Sini - di Tanah Asalnya.
Saya sendiri mengenal Meditasi Tong Len ini dari dua orang Rinpoche Tinggi dari Bhutan - Rangbar Nyimai Ozer Rinpoche dan Druk Chokyong Tsimar Rinpoche - yang berkunjung ke Solo dalam rangka Pembabaran Dharma beberapa waktu yang lalu.
Menjadi Penerjemah Pendamping bagi para Rinpoche yang berkunjung ke Solo beberapa waktu terakhir ini - saya rasakan sungguh telah membawa berkah spiritual yang amat berharga bagi diri saya. Melalui mereka - saya belajar ke-khas-an Ajaran Buddhisme Vajrayana/Tantrayana Tibet. Saya belajar Meditasi Tong Len - dan Ritual-Ritual Puja yang terasa kuat dan mengena.
Om Mani Padme Hum.
Om Mani Padme Hum.
Om Mani Padme Hum.
Permata di dalam Teratai - Hanya melalui Cintakasih dan Kebijaksanaan seorang manusia dapat mencapai Yang Tertinggi.
Senin, 02 Januari 2012
32. Se Mien Fo. Buddha Empat Muka.
Ilustrasi :
1. Atas - Se Mien Fo di Pantai Kenjeran - Surabaya. Tinggi rupang 9 meter !
2. Tengah - Se Mien Fo di pantai Kenjeran, Surabaya. Tinggi keseluruhan termasuk rumah Stupa-nya mencapai 36 meter.
3. Bawah - Se Mien Fo di Vihara Bunga Teratai - Solo
Buddha Empat Muka - Maha Brahma Sahampati - dikenal luas dan banyak dipuja oleh para penganut Agama Buddha di Thailand. Di Thailand ia dikenal sebagai Phra Phom Sin Nei atau Pah Pong. Ia dipercaya berasal dari seorang Dewa yang karena kewelas-asihannya kemudian mencapai ke-Buddha-an. Sedangkan penganut Agama Buddha Mahayana Tiongkok kemudian menyebutnya Se Mien Fo ( atau dalam dialek Hokkian-nya Sie Bing Sin ) - yang artinya ya itu tadi - Buddha Empat Muka. ( Se = empat, Mien = muka/ wajah dan Fo = Buddha ).
Sang Buddha Empat Muka ini sebenarnya diadopsi dari Dewata Hindu. Asal muasalnya berasal dari Dewa Agama Hindu. Dalam perkembangannya kemudian - dalam Agama Buddha - Ia dipuja sebagai Catur Brahma Vihara - sebagai Lambang dari Empat Sifat luhur yang harus dimiliki oleh seorang penganut Agama Buddha.
1. Metta. Cintakasih Universal kepada segenap makhluk hidup.
2. Karuna. Belaskasih. Sifat Welas-Asih pada makhluk lain yang sedang dalam penderitaan/kesusahan.
3. Mudita. Simpati terhadap kebahagiaan makhluk lain.
4. Upekkha. Sikap Batin yang Seimbang. Tak Tergoyahkan.
Di Indonesia - sang Buddha Empat Muka ini sangat jarang ditemukan - baik di Kelenteng mau pun di Vihara. Karenanya - saya agak terkejut ketika saya menemukan sebuah Altar Se Mien Fo ini di Vihara Bunga Teratai - sebuah Vihara baru di kota kelahiran saya Solo. Terlebih lagi - ternyata rupang-nya cukup besar. Ketika saya berdiri di sampingnya - Ia masih lebih tinggi dari saya. Saya perkirakan tingginya pasti lebih dari 2 meter.
Lebih terkejut lagi - ketika saya mendapati bahwa di pantai Kenjeran, Surabaya - ternyata sejak tahun 2004 telah tegak berdiri dengan megahnya sebuah rupang Se Mien Fo setinggi 9 meter ! - dan apabila diukur dengan rumah stupa-nya, tingginya bahkan mencapai 36 meter ! Yang menakjubkan - Se Mien Fo ala Pantai Kenjeran ini seluruh tubuhnya dilapisi emas - dan karena itu total biaya pembangunan keseluruhannya konon mencapai 4 milyar Rupiah. Rupang Se Mien Fo di pantai Kenjeran ini bahkan lebih tinggi dari yang ada di Bangkok - Thailand. Karenanya - Museum Rekor Indonesia - M U R I - kemudian menobatkan rupang/patung Se Mien Fo ini sebagai yang tertinggi.
Buddha Empat Muka ternyata juga kaya akan perlambang :
Se Mien Fo memiliki Empat Muka atau Wajah yang melambangkan 4 Sifat Luhur yang harus dibina seorang manusia - terlebih seorang pengikut Buddha. Delapan Telinga melambangkan ke Welas-Asih an beliau yang mendengarkan jeritan penderitaan makhluk hidup dari segala penjuru. Dan Delapan Tangan memegang Alat-Alat Keagamaan yang memiliki makna khusus yaitu :
1. Tasbih (Manik-Manik). Lambang dari Perputaran Roda Kehidupan - Hukum Karma dan Tumimbal Lahir.
2. Tangan di depan dada. Lambang dari sifatnya yang penuh Belaskasih - dan memberi Berkah.
3. Rumah Keong. Melambangkan kelimpahan dan kemakmuran.
4. Vas Bunga (Teko). Melambangkan air berkah pengabul permohonan.
5. Buku (Kitab Suci). Melambangkan Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan.
6. Tongkat (Tombak). Melambangkan daya kehendak dan kesuksesan.
7. Cinta Mani (Bendera Kebesaran). Melambangkan kekuatan spiritual seorang Buddha.
8. Roda Terbang (Cakram). Penangkal bahaya bencana dan celaka, penangkal setan dan menghilangkan segala kemuraman dan kekuatiran.
Di Thailand terutama - rupang kecil Se Mien Fo sering dianggap sebagai semacam jimat terutama untuk penangkal bahaya. Di pakai sebagai liontin atau sekedar dibawa - dimasukkan di saku atau di dalam tas.
Se Mien Fo. Se Mien Fo. Figur yang sungguh menarik dan unik. Berasal dari Agama Hindu - diadopsi oleh Agama Buddha. Rupang kecilnya diperlakukan sebagai jimat - sedang rupang besarnya di Altar menjadi perlambang dari Catur Brahma Vihara - Empat Sifat Luhur yang harus dibina oleh setiap manusia agar ia dapat meningkatkan Kesadaran Batin-nya ketingkat yang tinggi - yang akhirnya akan membuka jalan ke arah Kebebasan Total dari segala derita kehidupan.
Nirvana.
Minggu, 18 Desember 2011
31. Sembahyang Ronde
Ilustrasi :
Kiri : Bok Tok. Genta. Genta Rohani. Lambang dari Agama Khonghucu.
Kanan : Wedang Ronde - yang menjadi Persembahan Khusus dalam
Sembahyang Tang Cik/Dong Zi atau Sembahyang Ronde.
Sembahyang Ronde? Ya. Sembahyang Ronde. Apakah Sembahyang ini memang ada hubungannya dengan Ronde - Wedang Ronde? Ya memang - karena itu Sembahyang yang lazim dikenal sebagai Sembahyang Tang Cik atau Dong Zi ini juga disebut Sembahyang Ronde.
Wedang Ronde dalam Sembahyang Tang Cik atau Dong Zi ini memang menjadi Persembahan Khusus - disamping Persembahan Utama. Tiga Mangkuk Ronde di Altar Puja - tiap mangkuk terdiri dari 1 Ronde besar berwarna merah sebagai lambang dari Matahari dan 12 Ronde kecil - 6 merah 6 putih - sebagai lambang dari 12 bulan dalam 1 tahun.
Sembahyang Tang Cik ini diadakan pada malam 22 Desember (tanggal 21 Desember malam) setiap tahun - kecuali pada Tahun Kabisat - Sembahyang diadakan pada malam 21 Desember (tanggal 20 Desember malam) .
Hari Tang Cik adalah hari saat letak atau posisi matahari tepat berada pada 23,5 derajat Lintang Selatan yang jatuh pada tanggal 22 Desember setiap tahun - dan pada tahun Kabisat tanggal 21 Desember. Pada posisi ini - letak Matahari tepat berada pada titik terjauhnya dari Belahan Bumi Utara. Karenanya di Belahan Bumi Utara - dan Tiongkok yang juga terletak di Belahan Bumi Utara - siang hari menjadi sangat pendek - sedang malam hari akan sangat panjang. Hari berikutnya - Matahari akan mulai bergerak ke Utara dari titik terjauhnya di Selatan.
Pada daerah-daerah Utara yang mempunyai Iklim Sub-Tropis dan Dingin, tibalah Musim Dingin. Oleh karenanya pada masa Dinasti Ciu ( 1122 - 255 SM ) - saat itu dianggap sebagai Hari Permulaan Tahun yang Baharu - sebagai hari Tahun Baru ! - karena pada hari-hari selanjutnya - Matahari akan mulai bergerak ke arah Utara - dan siang hari pun akan menjadi kian panjang dan malam hari kian pendek - sekali pun musim masih akan bertambah dingin hingga tibanya saat Musim Semi - saat Matahari melewati Garis Khatulistiwa.
Pada saat Tang Cik itu - di masa lalu - para Raja Muda mengadakan Upacara Sembahyang Besar yang dinamakan Kau - yang dilakukan di hadapan sebuah Altar yang dibangun di Alun Alun sebelah Selatan untuk mengucapkan Puji dan Syukur ke Hadirat Thian - Tuhan - Sang Khalik Semesta Alam. Sembahyang Kau ini diadakan setiap 5 tahun sekali dan dipimpin langsung oleh Kaisar sendiri.
Rakyat Jelata pun melakukan Sembahyang kepada Thian dan Leluhurnya dengan sajian utama Ronde yang berbentuk bulat - dibuat dari tepung ketan dan diberi warna merah dan putih (melambangkan sifat Im - negatip dan Yang - positip) dan diberi kuah jahe manis. Disajikan 3 mangkok Ronde - tiap mangkok berisi satu Ronde warna merah besar dan 12 ronde kecil - (6 berwarna merah dan 6 berwarna putih ) - melambangkan Matahari dan Berkat yang diterima sepanjang tahun yang terdiri dari 12 bulan.
Sedang bagi umat beragama Khonghucu - Hari Tang Cik ini punya satu makna suci khusus - yaitu sebagai hari Genta Rohani atau Hari Bok Tok. Disebut demikian karena segera setelah satu Hari Tang Cik - pada suatu waktu tatkala Nabi Khonghucu saat itu berusia 56 tahun - beliau meninggalkan Negeri Lo - tanah tumpah darahnya. Meninggalkan kedudukannya sebagai Perdana Menteri - meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan kemudian mulai mengembara - bahkan sampai ke Negeri lain untuk mulai menebarkan Ajaran-Ajarannya. Dan umat Khonghucu pun kemudian menganggap beliau sebagai Genta Rohani atau Canang atau Bok Tok - Penebar Firman Thian/Tuhan bagi hidup Insani.Bok Tok adalah genta yang terbuat dari logam dengan alat pemukulnya yang terbuat dari kayu. Pada Jaman Purba - Bok Tok - digunakan untuk memberikan Maklumat-Maklumat penting yang wajib dilaksanakan rakyat. Umat Khonghucu menyamakan Nabi mereka - Khong Hu Cu / Kong Zi - seperti halnya Bok Tok. Hanya saja - bukan Bok Tok Raja - melainkan Bok Tok Thian/Tuhan untuk menyampaikan Firman-nya kepada segenap umat manusia. Itulah sebabnya - hingga kini - Agama Khonghucu memakai simbol Bok Tok/Genta Rohani ini sebagai Lambang Keagamaan mereka. ( Lihat Ilustrasi di Atas ).
Perayaan Hari Tang Cik merupakan salah satu dari beberapa Perayaan Sembahyang yang merayakan Pergantian Musim. Perayaan-Perayaan yang berkaitan dengan Pergantian Musim di antaranya adalah Chunjie/Sincia atau Tahun baru Imlek - untuk merayakan datangnya Musim Semi. Perayaan Duanwu/Peh Cun atau Hari Twan Yang - untuk menyambut permulaan Musim Panas. Perayaan Zhong Qiu/Tiong Ciu - Perayaan Besar pada Bulan 8 Tanggal 15 Imlek - yang diadakan pada Pertengahan Musim Gugur - saat Panen Raya baru saja berakhir bagi para petani di Tiongkok. Masih ada lagi - yaitu - Perayaan Chu Xi yang jatuh pada malam terakhir pada Bulan 12 Imlek. Perayaan Chu Xi ini seringkali disebut juga sebagai Perayaan Pisah Tahun.
Di Eropa Kuno - peristiwa mulai berbaliknya Matahari ke Utara dari titik terjauhnya di Selatan pada posisi 23,5 derajat Lintang Selatan pada Tanggal 22 Desember ini - dianggap sebagai hari Lahirnya Dewa Matahari - karena segera setelah tanggal tersebut - Matahari kembali menguat dengan berbaliknya Matahari kembali ke arah Utara. Bahkan - ada yang menduga - bahwasanya Perayaan Natal ( kata Natal secara harafiah berarti Lahir ) - diadopsi dari Hari lahir-nya Dewa Matahari ini.
Di Solo - kota tempat kelahiran saya - Perayaan Hari Tang Cik ini tidak diadakan di Kelenteng-Kelenteng tetapi di Lithang Gerbang Kebajikan Agama Khonghucu - yang berlokasi di Jalan Drs. Yap Tjwan Bing no 15, Solo. ( Lithang adalah Tempat Kebaktian Umat beragama Khonghucu ). Perayaan Hari Tang Cik tahun ini diadakan pada Hari Rabu malam tanggal 21 Desember 2011 ( malam 22 Desember ).
Saya sendiri sejak beberapa tahun terakhir selalu mengikuti Sembahyang Tang Cik ini. Saya pikir - sebuah Sembahyang Besar pada akhir tahun - pasti bermanfaat untuk menyongsong tahun baru yang akan segera datang. Sembahyang Tang Cik atau Sembahyang Ronde ini memang juga selalu menyertakan sajian - disamping sebagai Persembahan di Altar - Wedang Ronde. Pada akhir acara - setiap umat - mengikuti tradisi - diberikan semangkuk Wedang Ronde.
Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Ronde sesungguhnya berasal dari Tiongkok. Ronde yang besar dan berisi kacang dan gula merah - sebenarnya namanya Dongo. Sedang yang disebut Ronde itu bulatannya kecil- kecil dan didalamnya tidak berisi apa-apa. Tetapi sekarang ini Dongo yang dibuat agak kecil - berisi kacang dan gula merah - disebut Ronde. Jadi sudah tidak ada lagi pembedaan antara Ronde dan Dongo - mungkin demi praktisnya saja. Sedang Ronde yang kecil-kecil dan tidak berisi apa-apa sudah tidak lagi dibuat.
Wedang Ronde dalam Sembahyang Tang Cik atau Dong Zi ini memang menjadi Persembahan Khusus - disamping Persembahan Utama. Tiga Mangkuk Ronde di Altar Puja - tiap mangkuk terdiri dari 1 Ronde besar berwarna merah sebagai lambang dari Matahari dan 12 Ronde kecil - 6 merah 6 putih - sebagai lambang dari 12 bulan dalam 1 tahun.
Sembahyang Tang Cik ini diadakan pada malam 22 Desember (tanggal 21 Desember malam) setiap tahun - kecuali pada Tahun Kabisat - Sembahyang diadakan pada malam 21 Desember (tanggal 20 Desember malam) .
Hari Tang Cik adalah hari saat letak atau posisi matahari tepat berada pada 23,5 derajat Lintang Selatan yang jatuh pada tanggal 22 Desember setiap tahun - dan pada tahun Kabisat tanggal 21 Desember. Pada posisi ini - letak Matahari tepat berada pada titik terjauhnya dari Belahan Bumi Utara. Karenanya di Belahan Bumi Utara - dan Tiongkok yang juga terletak di Belahan Bumi Utara - siang hari menjadi sangat pendek - sedang malam hari akan sangat panjang. Hari berikutnya - Matahari akan mulai bergerak ke Utara dari titik terjauhnya di Selatan.
Pada daerah-daerah Utara yang mempunyai Iklim Sub-Tropis dan Dingin, tibalah Musim Dingin. Oleh karenanya pada masa Dinasti Ciu ( 1122 - 255 SM ) - saat itu dianggap sebagai Hari Permulaan Tahun yang Baharu - sebagai hari Tahun Baru ! - karena pada hari-hari selanjutnya - Matahari akan mulai bergerak ke arah Utara - dan siang hari pun akan menjadi kian panjang dan malam hari kian pendek - sekali pun musim masih akan bertambah dingin hingga tibanya saat Musim Semi - saat Matahari melewati Garis Khatulistiwa.
Pada saat Tang Cik itu - di masa lalu - para Raja Muda mengadakan Upacara Sembahyang Besar yang dinamakan Kau - yang dilakukan di hadapan sebuah Altar yang dibangun di Alun Alun sebelah Selatan untuk mengucapkan Puji dan Syukur ke Hadirat Thian - Tuhan - Sang Khalik Semesta Alam. Sembahyang Kau ini diadakan setiap 5 tahun sekali dan dipimpin langsung oleh Kaisar sendiri.
Rakyat Jelata pun melakukan Sembahyang kepada Thian dan Leluhurnya dengan sajian utama Ronde yang berbentuk bulat - dibuat dari tepung ketan dan diberi warna merah dan putih (melambangkan sifat Im - negatip dan Yang - positip) dan diberi kuah jahe manis. Disajikan 3 mangkok Ronde - tiap mangkok berisi satu Ronde warna merah besar dan 12 ronde kecil - (6 berwarna merah dan 6 berwarna putih ) - melambangkan Matahari dan Berkat yang diterima sepanjang tahun yang terdiri dari 12 bulan.
Sedang bagi umat beragama Khonghucu - Hari Tang Cik ini punya satu makna suci khusus - yaitu sebagai hari Genta Rohani atau Hari Bok Tok. Disebut demikian karena segera setelah satu Hari Tang Cik - pada suatu waktu tatkala Nabi Khonghucu saat itu berusia 56 tahun - beliau meninggalkan Negeri Lo - tanah tumpah darahnya. Meninggalkan kedudukannya sebagai Perdana Menteri - meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan kemudian mulai mengembara - bahkan sampai ke Negeri lain untuk mulai menebarkan Ajaran-Ajarannya. Dan umat Khonghucu pun kemudian menganggap beliau sebagai Genta Rohani atau Canang atau Bok Tok - Penebar Firman Thian/Tuhan bagi hidup Insani.Bok Tok adalah genta yang terbuat dari logam dengan alat pemukulnya yang terbuat dari kayu. Pada Jaman Purba - Bok Tok - digunakan untuk memberikan Maklumat-Maklumat penting yang wajib dilaksanakan rakyat. Umat Khonghucu menyamakan Nabi mereka - Khong Hu Cu / Kong Zi - seperti halnya Bok Tok. Hanya saja - bukan Bok Tok Raja - melainkan Bok Tok Thian/Tuhan untuk menyampaikan Firman-nya kepada segenap umat manusia. Itulah sebabnya - hingga kini - Agama Khonghucu memakai simbol Bok Tok/Genta Rohani ini sebagai Lambang Keagamaan mereka. ( Lihat Ilustrasi di Atas ).
Perayaan Hari Tang Cik merupakan salah satu dari beberapa Perayaan Sembahyang yang merayakan Pergantian Musim. Perayaan-Perayaan yang berkaitan dengan Pergantian Musim di antaranya adalah Chunjie/Sincia atau Tahun baru Imlek - untuk merayakan datangnya Musim Semi. Perayaan Duanwu/Peh Cun atau Hari Twan Yang - untuk menyambut permulaan Musim Panas. Perayaan Zhong Qiu/Tiong Ciu - Perayaan Besar pada Bulan 8 Tanggal 15 Imlek - yang diadakan pada Pertengahan Musim Gugur - saat Panen Raya baru saja berakhir bagi para petani di Tiongkok. Masih ada lagi - yaitu - Perayaan Chu Xi yang jatuh pada malam terakhir pada Bulan 12 Imlek. Perayaan Chu Xi ini seringkali disebut juga sebagai Perayaan Pisah Tahun.
Di Eropa Kuno - peristiwa mulai berbaliknya Matahari ke Utara dari titik terjauhnya di Selatan pada posisi 23,5 derajat Lintang Selatan pada Tanggal 22 Desember ini - dianggap sebagai hari Lahirnya Dewa Matahari - karena segera setelah tanggal tersebut - Matahari kembali menguat dengan berbaliknya Matahari kembali ke arah Utara. Bahkan - ada yang menduga - bahwasanya Perayaan Natal ( kata Natal secara harafiah berarti Lahir ) - diadopsi dari Hari lahir-nya Dewa Matahari ini.
Di Solo - kota tempat kelahiran saya - Perayaan Hari Tang Cik ini tidak diadakan di Kelenteng-Kelenteng tetapi di Lithang Gerbang Kebajikan Agama Khonghucu - yang berlokasi di Jalan Drs. Yap Tjwan Bing no 15, Solo. ( Lithang adalah Tempat Kebaktian Umat beragama Khonghucu ). Perayaan Hari Tang Cik tahun ini diadakan pada Hari Rabu malam tanggal 21 Desember 2011 ( malam 22 Desember ).
Saya sendiri sejak beberapa tahun terakhir selalu mengikuti Sembahyang Tang Cik ini. Saya pikir - sebuah Sembahyang Besar pada akhir tahun - pasti bermanfaat untuk menyongsong tahun baru yang akan segera datang. Sembahyang Tang Cik atau Sembahyang Ronde ini memang juga selalu menyertakan sajian - disamping sebagai Persembahan di Altar - Wedang Ronde. Pada akhir acara - setiap umat - mengikuti tradisi - diberikan semangkuk Wedang Ronde.
Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Ronde sesungguhnya berasal dari Tiongkok. Ronde yang besar dan berisi kacang dan gula merah - sebenarnya namanya Dongo. Sedang yang disebut Ronde itu bulatannya kecil- kecil dan didalamnya tidak berisi apa-apa. Tetapi sekarang ini Dongo yang dibuat agak kecil - berisi kacang dan gula merah - disebut Ronde. Jadi sudah tidak ada lagi pembedaan antara Ronde dan Dongo - mungkin demi praktisnya saja. Sedang Ronde yang kecil-kecil dan tidak berisi apa-apa sudah tidak lagi dibuat.
Penutup . . .
Tahun 2012.
Hari Tang Cik di Tahun 2012 akan jatuh pada Tanggal 21 Desember karena Tahun 2012 adalah Tahun Kabisat. Suku Bangsa Maya di Amerika Selatan yang berperadaban tinggi - dan amat piawai dalam Ilmu Falak/Ilmu Perhitungan Bintang - secara mengejutkan menghentikan perhitungan kalendernya pada Hari Tang Cik 2012 - pada 21 Desember 2012 !!
Tak pelak - hal ini kemudian menimbulkan berbagai penafsiran. Salah satu-nya adalah bahwa Tanggal 21 Desember 2012 dianggap sebagai Hari Terakhir bagi kehidupan di Bumi. Hari Kiamat. Kiamat pada 21.12.2012 ! Beberapa buku ditulis - dan sebuah Film spektakuler telah dibuat untuk menggambarkan Hari Kiamat pada 21 Desember 2012 ini.
Apakah hal ini benar? Yah - siapa yang tahu. Kita tunggu saja. Kalau benar terjadi - berarti kita sudah tidak bangun pagi lagi pada pagi hari 22 Desember 2012 - dan kita akan berada entah dimana.
Tapi kalau tidak benar - berarti pagi hari 22 Desember 2012 - akan tetap kita alami. Hidup tetap akan berlanjut. Life Goes On. The Show must Go On. Hidup kita masing-masing - dengan segala masalahnya - masih harus tetap berlanjut . .
Tahun 2012.
Hari Tang Cik di Tahun 2012 akan jatuh pada Tanggal 21 Desember karena Tahun 2012 adalah Tahun Kabisat. Suku Bangsa Maya di Amerika Selatan yang berperadaban tinggi - dan amat piawai dalam Ilmu Falak/Ilmu Perhitungan Bintang - secara mengejutkan menghentikan perhitungan kalendernya pada Hari Tang Cik 2012 - pada 21 Desember 2012 !!
Tak pelak - hal ini kemudian menimbulkan berbagai penafsiran. Salah satu-nya adalah bahwa Tanggal 21 Desember 2012 dianggap sebagai Hari Terakhir bagi kehidupan di Bumi. Hari Kiamat. Kiamat pada 21.12.2012 ! Beberapa buku ditulis - dan sebuah Film spektakuler telah dibuat untuk menggambarkan Hari Kiamat pada 21 Desember 2012 ini.
Apakah hal ini benar? Yah - siapa yang tahu. Kita tunggu saja. Kalau benar terjadi - berarti kita sudah tidak bangun pagi lagi pada pagi hari 22 Desember 2012 - dan kita akan berada entah dimana.
Tapi kalau tidak benar - berarti pagi hari 22 Desember 2012 - akan tetap kita alami. Hidup tetap akan berlanjut. Life Goes On. The Show must Go On. Hidup kita masing-masing - dengan segala masalahnya - masih harus tetap berlanjut . .
Solo - 18 Desember 2011
Aryanto Wong
Pengamat Budaya Tionghoa
Humas Kelenteng Tien Kok Sie, Pasar Gede, Solo
Langganan:
Postingan (Atom)